Sabtu, 10 Oktober 2015

IAPAKAH ASWAJA ITU DAN APAKAH YANG MENGAKU ASWAJA ITU ADALAH BENAR BENAR ASWAJA

الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين . اما بعد Kaum muslimin yang dirahmati Allah, istilah ‘aswaja’ bagi sebagian orang mungkin istilah yang asing. Apa itu aswaja? Ya, aswaja adalah singkatan dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Sehingga pada hakikatnya makna dari istilah aswaja adalah suatu hal yang sangat mulia. Sebab Ahlus Sunnah wal Jama’ah merupakan umat Islam yang berpegang teguh dengan Sunnah/ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah atau sering diringkas menjadi Ahlus Sunnah adalah istilah yang populer di kalangan para ulama. Misalnya, apa yang dituturkan oleh Imam an-Nawawi rahimahullah di dalam Syarah Sahih Muslim ketika menukil penjelasan hakikat iman. Beliau berkata, “Imam Abul Hasan ‘Ali bin Khalaf bin Baththal al-Maliki al-Maghribi di dalam Syarh Sahih Bukhari (Syarh Ibnu Baththal, pent) mengatakan: Madzhab jama’ahAhlus Sunnah dari kalangan umat terdahulu maupun yang belakangan menetapkan bahwasanya iman adalah ucapan dan amalan, bertambah dan berkurang…” (lihat Syarh Muslim lin Nawawi [2/7]) Imam Muslim rahimahullah di dalam mukadimah Sahih Muslim juga telah menyebutkan penukilan istilah Ahlus Sunnah dari ulama terdahulu, yaitu Imam Ibnu Sirin rahimahullah. Ibnu Sirin mengatakan, “Dahulu mereka [pendahulu yang salih, pent] tidak menanyakan tentang isnad/rantai periwayatan. Akan tetapi setelah terjadinya fitnah [kekacauan] mereka pun berkata: ‘Sebutkan kepada kami rijal/para periwayat kalian’. Apabila mereka adalahAhlus Sunnah maka diambillah haditsnya. Dan apabila mereka adalah ahli bid’ah maka tidak diambil haditsnya.” (lihat Syarh Muslim lin Nawawi [1/243]) Begitu pula Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Di dalam risalahnya yang berjudulShifatul Mu’min min Ahlis Sunnah wal Jama’ah, beliau berkata, “Sifat seorang mukmin dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah: orang yang mempersaksikan bahwa tidak ada ilah/sesembahan yang benar selain Allah semata dan tiada sekutu bagi-Nya dan bahwasanya Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, dst.” (lihat ‘Aqaa’id A’immah as-Salaf, hal. 40) Imam Abu Ja’far ath-Thahawi rahimahullah dari Mesir juga menukilkan istilah Ahlus Sunnah ini di dalam bagian awal mukadimah kitab aqidah beliau. Beliau berkata, “Ini adalah penyebutan keterangan tentang aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah sebagaimana yang dianut oleh para ulama agama ini seperti Abu Hanifah an-Nu’man bin Tsabit al-Kufi, dst.” (lihat ar-Riyadh an-Nadiyah min Durari Ifadat ‘Ulama ad-Da’wah as-Salafiyah ‘ala Matn al-’Aqidah ath-Thahawiyah, oleh Syaikh ‘Ali al-Halabi hafizhahullah, hal. 15) BAHKAN ISTILAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH INI TELAH DIKENAL OLEH PARA SAHABAT RADHIYALLAHU'ANHUM Imam Ibnu Katsir rahimahullah menukil keterangan dari Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu’anhuma mengenai tafsir ayat, يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ “Pada hari itu akan memutih wajah-wajah dan akan menghitam wajah-wajah yang lain.” (QS. Ali ‘Imran: 106). Imam Ibnu Katsir berkata, “Pada hari itu -yaitu hari kiamat- akan memutih wajah Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan akan menghitam wajah ahli bid’ah dan furqah/perpecahan. Inilah yang dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [2/92] cet Dar Thaybah, baca juga Tafsir al-Baghawi, hal. 234) APA MAKNA ISTILAH 'AHLUS SUNNAH...? Kaum muslimin yang dirahmati Allah, istilah aswaja atau Ahlus Sunnah adalah istilah yang mulia. Namun, istilah yang agung ini hanya akan menjadi penghias bibir saja jika tidak dilandasi dengan ilmu dan penerapan akan makna dan kandungannya. Setiap orang atau kelompok bisa saja mengklaim bahwa dirinya adalah Ahlus Sunnah atau aswaja, namun belum tentu pengakuan mereka itu bisa diterima. Seperti yang diungkapkan oleh salah seorang penyair, “ Semua orang mengaku punya hubungan dengan Laila, “ tetapi Laila tidak merestui dakwaan mereka Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang sesuai dengan as-Sunnah maka dia adalah pengikut Sunnah [baca: Ahlus Sunnah]. Dan barangsiapa yang menyelisihi as-Sunnah maka dia bukanlah pengikut Sunnah.” (lihat Syarh al-’Aqidah al-Wasithiyah [1/53]) Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah orang-orang yang berpegang teguh dengan Sunnah/tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka dan meniti jalan mereka dalam hal keyakinan, ucapan, dan amalan. Mereka adalah orang-orang yang istiqomah di atas ittiba’ [mengikuti tuntunan] dan berupaya untuk menjauhi ibtida’/membuat bid’ah (lihat al-Wajiz fi Aqidati as-Salaf ash-Shalih, hal. 30 oleh Abdullah bin Abdul Hamid al-Atsari hafizhahullah) Syaikh Ibrahim bin ‘Amir ar-Ruhaili hafizhahullah berkata, “..Sesungguhnya mereka -Ahlus Sunnah- adalah orang-orang yang berpegang teguh dengan Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam serta mengikuti apa-apa yang telah disepakati oleh para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik sampai hari ini. MEREKA TIDAK MENYELISIHI DALAM HAL HAL POKOK POKOK AGAMA Termasuk di dalamnya adalah orang-orang awam diantara kaum muslimin yang mengikuti mereka.” (lihat Mauqif Ahlis Sunnah wal Jama’ah min Ahlil Bida’ wal Ahwa’ [1/38]) AHLUS SUNNAH DIKENAL DENGAN AHLUL HADITS, YANG BERUSAHA UNTUK MENGIKUTI HADITS HADITS Ahlus Sunnah juga dikenal dengan sebutan Ahlul Hadits wal Atsar dikarenakan begitu kuatnya mereka dalam berpegang teguh dan memperhatikan dengan serius hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dalam hal periwayatan maupun penjabaran kandungannya. Mereka lah orang-orang yang berusaha kuat untuk senantiasa mengikuti hadits dan mengedepankannya di atas logika dan pandangan manusia (lihat Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 18 Dr. Muhammad bin Husain al-Jizani) Salah seorang imam dari kalangan tabi’ut tabi’in Abu ‘Amr al-Auza’i rahimahullah berkata, “Wajib atasmu untuk mengikuti atsar/jejak orang-orang yang terdahulu [salafus shalih, pent] meskipun orang-orang menolakmu. Dan jauhilah olehmu pendapat akal-akal manusia meskipun mereka menghias-hiasinya dengan ucapan yang menarik.” (lihat dalam Syarh Lum’at al-I’tiqad oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, hal. 42) Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menerangkan, “Maksud dari ungkapan ‘wajib atasmu untuk mengikuti jejak orang-orang terdahulu’ adalah berpegang teguhlah dengan jalan para Sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, dikarenakan jalan itu tegak dibangun di atas al-Kitab dan as-Sunnah.” (lihat Syarh Lum’at al-I’tiqad, hal. 44) Nasehat Para Ulama Aswaja Dari penjelasan-penjelasan para ulama di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa karakter pokok dari Aswaja (baca: Ahlus Sunnah wal jama’ah) adalah berpegang teguh dengan atsar/hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh sebab itu para imam yang empat; Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Ahmad -semoga Allah merahmati mereka- sangat tegas dalam hal ini. BERIKUT INI SEBAGIAN DARI UCAPAN MEREKA Imam Abu Hanifah rahimahullah berkata, “Apabila suatu hadits sahih maka itulah madzhabku.” Beliau juga pernah mengatakan, “Haram hukumnya bagi orang yang tidak mengetahui dalilku untuk berfatwa dengan ucapanku.” Beliau bahkan mengatakan, “Jika aku mengatakan suatu pendapat yang menyelisihi Kitabullah ta’ala dan khabar/hadits Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam maka tinggalkanlah pendapatku.” (lihat Shifat Sholat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, hal. 46-48) Imam Malik bin Anas rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya saya ini hanyalah manusia biasa, bisa salah dan bisa benar. Maka perhatikanlah pendapat-pendapatku. Setiap yang sesuai dengan al-Kitab dan as-Sunnah ambillah! Dan setiap yang tidak sesuai dengan al-Kitab dan as-Sunnah maka tinggalkanlah!” (lihat Shifatu Shalatin Nabi, hal. 48) Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Kaum muslimin telah sepakat bahwa barangsiapa yang telah jelas baginya Sunnah/hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka tidak halal baginya meninggalkan hadits itu karena perkataan siapapun.” Beliau juga berkata, “Semua hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka itu adalah pendapatku, meskipun kalian tidak mendengarnya dariku.” (lihat Shifatu Shalatin Nabi, hal. 50-52) MENOLAK HADITS RASUL, SAMA HALNYA BERADA DITEPI JURANG. DAN AGAR SELALU MENDAHULUKAN ATSAR YANG BERSANDARKAN PADA HADITS SHAHIH Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang menolak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka dia berada di tepi jurang kehancuran.” Beliau juga mengatakan, “Sesungguhnya yang menjadi hujjah/dasar hukum adalah apa yang terdapat di dalam atsar/hadits.” (lihat Shifatu Shalatin Nabi, hal. 52) Muhammad bin Sirin rahimahullah berkata, “Para ulama kita dahulu senantiasa mengatakan: Apabila seseorang itu berada di atas atsar, maka itu artinya dia berada di atas jalan yang benar.” (lihat Da’a’im Minhaj Nubuwwah, hal. 47) Imam al-Ajurri rahimahullah berkata, “Ciri orang yang dikehendaki kebaikan oleh Allah adalah meniti jalan ini; Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta Sunnah para Sahabatnya radhiyallahu’anhum dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Dia mengikuti jalan para imam kaum muslimin yang ada di setiap negeri sampai para ulama yang terakhir diantara mereka; semisal al-Auza’i, Sufyan ats-Tsauri, Malik bin Anas, asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, al-Qasim bin Sallam, dan orang-orang yang berada di atas jalan yang mereka tempuh serta dengan menjauhi setiap madzhab/aliran yang dicela oleh para ulama tersebut.” (lihat Da’a’im Minhaj Nubuwwah, hal. 49) Imam ad-Darimi meriwayatkan dalam Sunannya, demikian juga al-Ajurri dalam asy-Syari’ah, dari az-Zuhri rahimahullah, beliau berkata, “Para ulama kami dahulu senantiasa mengatakan, “Berpegang teguh dengan Sunnah adalah keselamatan.”.” ‘Umar bin Abdul ‘Aziz rahimahullah berkata, “Hendaknya kamu berpegang teguh dengan Sunnah, karena ia -dengan izin Allah- akan menjaga dirimu.” (lihat Da’a’im Minhaj an-Nubuwwah, hal. 340-341) ASWAJA MENCINTAI DAN MENGIKUTI JALAN SALAFUS SHALIH Imam Abul Qasim at-Taimi rahimahullah berkata, “Syi’ar Ahlus Sunnah adalah komitmen mereka untuk ittiba’ kepada salafus shalih dan meninggalkan segala ajaran yang bid’ah dan diada-adakan.” (lihat Fashlu al-Maqal fi Wujub Ittiba’ as-Salaf al-Kiram, hal. 49) Imam Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi rahimahullah berkata, “Sunnah adalah jalan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun al-Jama’ah adalah jama’ah kaum muslimin; mereka itu adalah para sahabat, dan para pengikut setia mereka hingga hari kiamat. Mengikuti mereka adalah petunjuk, sedangkan menyelisihi mereka adalah kesesatan.” (lihat Syarh al-’Aqidah ath-Thahawiyah, takhrij Syaikh al-Albani, hal. 382 cet. al-Maktab al-Islami) Allah ta’ala berfirman, وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ “Orang-orang yang terdahulu dan pertama-tama dari kalangan Muhajirin dan Anshar, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah meridhai mereka, dan mereka pun meridhai-Nya. Allah sediakan untuk mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya. Itulah kemenangan yang sangat besar.” (QS. at-Taubah: 100) Allah ta’ala berfirman, وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًاوَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا “Barangsiapa yang menentang rasul setelah jelas baginya petunjuk, dan dia mengikuti selain jalan orang-orang beriman, maka Kami biarkan dia bersama kesesatannya, dan Kami akan memasukkannya ke dalam Jahannam. Dan sesungguhnya Jahannam itu adalah sejelek-jelek tempat kembali.” (QS. an-Nisaa’: 115) Allah ta’ala berfirman mengenai para Sahabat dalam ayat-Nya, لَقَدْ رَضِيَ اللَّهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ “Sungguh, Allah telah ridha kepada orang-orang yang beriman yaitu ketika mereka bersumpah setia kepadamu (Muhammad) di bawah pohon itu.” (QS. al-Fath: 18). Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan di dalam tafsirnya bahwa jumlah para sahabat yang ikut serta dalam sumpah setia/bai’at di bawah pohon itu -yang dikenal dengan Bai’atur Ridhwan- adalah 1400 orang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak akan masuk neraka seorang pun di antara orang-orang [para sahabat] yang ikut berbai’at di bawah pohon itu.” (HR. Muslim) (lihat Syarh al-’Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 469) Salafus shalih atau pendahulu yang baik merupakan sebutan bagi tiga generasi terbaik umat ini, yaitu para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Jalan yang mereka tempuh adalah kebenaran, sedangkan menyimpang dari jalan mereka adalah kesesatan. Adapun istilahsalafi (pengikut salaf) merupakan penisbatan/penyandaran diri kepada salafus shalih. Hal itu sebagaimana dijelaskan oleh para ulama semacam as-Sam’ani dalam kitabnya al-Ansaabdan adz-Dzahabi dalam kitabnya Siyar A’lamin Nubala’ . Contohnya pujian Imam adz-Dzahabi kepada ad-Daruquthni, “Lelaki ini tidak pernah menyentuh ilmu kalam/filsafat dan perdebatan. Beliau pun tidak suka membicarakannya. Beliau adalah seorang salafi.” (lihat Al-Manhaj as-Salafi ‘inda asy-Syaikh al-Albani, hal. 12 oleh Amru Abdul Mun’im Salim) Dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Sesungguhnya Bani Isra’il berpecah menjadi tujuh puluh dua golongan. Adapun umatku akan berpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya di neraka kecuali satu golongan saja.” Mereka pun bertanya, “Siapakah golongan itu wahai Rasulullah?”. Beliau menjawab, “Orang-orang yang mengikuti aku dan para sahabatku.” (HR. Tirmidzi, dihasankan Syaikh al-Albani) Dari al-’Irbadh bin Sariyah radhiyallahu’anhu, beliau menuturkan: Pada suatu hari tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sholat mengimami kami, kemudian beliau menghadap kepada kami. RASULULLAH BERPESAN AGAR MENGIKUTI JALAN MEREKA YANG BERJALAN DIATAS SUNNAH DAN MENJAUHI PERKARA YANG DIADA ADAKAN DAN MENDENGARKAN PERKATAAN SIAPAPUN JIKA ITU PERKATAAN YANG BERJALAN DIATAS KEBENARAN. Beliau pun menasehati kami dengan suatu nasehat yang membuat air mata berlinang dan hati merasa takut. Maka ada seseorang yang berkata, “Wahai Rasulullah! Seakan-akan ini adalah nasehat seorang yang hendak berpisah. Apakah yang hendak anda pesankan kepada kami?”. Beliau pun bersabda, “Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, tetap mendengar dan patuh, meskipun pemimpinmu adalah seorang budak Habasyi. Barangsiapa diantara kalian yang masih hidup sesudahku akan melihat banyak perselisihan. Oleh sebab itu berpegang teguhlah kalian dengan Sunnah/ajaranku dan Sunnah para khalifah yang lurus lagi mendapat hidayah. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham kalian! Jauhilah perkara-perkara yang diada-adakan, karena setiap ajaran yang diada-adakan itu bid’ah. Dan setiap bid’ah adalah sesat” (HR. Abu Dawud, disahihkan Syaikh al-Albani) Salafiyah adalah sebuah manhaj/metode beragama. Ia bukanlah sekumpulan orang atau suatu tanzhim/organisasi tertentu, sebagaimana disangka sebagian orang. Menyandarkan diri kepada salafiyah merupakan penisbatan yang terpuji. Karena hakikat dari salafiyah itu adalah mengikuti cara beragama para Sahabat Nabi, baik dalam hal keyakinan, keimanan, fiqh, pemahaman, tata cara ibadah, akhlak, tarbiyah, demikian pula dalam haltazkiyatun nafs/penyucian jiwa (lihat al-Manhaj as-Salafi ‘inda asy-Syaikh al-Albani, hal. 13) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Tidaklah tercela orang yang menampakkan madzhab salaf, menisbatkan diri dan merasa mulia dengannya. Sudah menjadi kewajiban kita untuk menerimanya sebagaimana telah disepakati oleh para ulama. Sebab madzhab salaf itu tidak lain adalah kebenaran itu sendiri.” (Majmu’ Fatawa [4/149] dinukil dari al-Manhaj as-Salafi ‘inda asy-Syaikh al-Albani, hal. 16) RASULULLAH ADALAH PENJAGA BAGI PARA SAHABAT DAN PARA SAHABAT ADALAH PENJAGA UMAT RASULULLAH Dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bintang-bintang adalah penjaga bagi langit. Apabila bintang-bintang itu lenyap maka akan menimpa langit apa yang dijanjikan atasnya (kehancuran). Aku adalah penjaga bagi para Sahabatku. Apabila aku pergi maka akan menimpa mereka apa yang dijanjikan atas mereka. Para Sahabatku juga menjadi penjaga bagi umatku. Apabila para Sahabatku telah pergi maka akan menimpa umatku apa yang dijanjikan atas mereka.” (HR. Muslim) Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian mencela para Sahabatku! Seandainya salah seorang diantara kalian berinfak emas sebesar gunung Uhud, niscaya hal itu tidak akan bisa menandingi kualitas infak mereka yang hanya satu mud/genggaman dua telapak tangan, bahkan setengahnya pun tidak.” (HR. Bukhari dan Muslim) Ibnu ‘Umar radhiyallahu’anhuma berkata, “Janganlah kalian mencela para sahabat Muhammad. Sungguh kebersamaan dan duduknya mereka -bersama Nabi- itu walaupun hanya sesaat jauh lebih baik daripada amalan salah seorang dari kalian seumur hidupnya.” (lihat al-Ibanah li Maa li ash-Shahabah minal Manzilah wa al-Makanah, hal. 180) Imam Bukhari membuat sebuah bab dalam Shahihnya dengan judul ‘Tanda keimanan adalah mencintai kaum Anshar’ (lihat Fath al-Bari [1/79 dan seterusnya]). Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tanda keimanan adalah mencintai Anshar, sedangkan tanda kemunafikan adalah membenci Anshar.” (HR. Bukhari). Dalam riwayat lain dikatakan, “Tidaklah membenci Anshar seorang lelaki yang beriman kepada Allah dan hari akhir.” (HR. Muslim). Dalam riwayat lain lagi disebutkan, “Mencintai Anshar adalah keimanan dan membenci mereka adalah kemunafikan.” (HR. Ahmad) Imam Abu Ja’far ath-Thahawi rahimahullah berkata, “Kami [Ahlus Sunnah] mencintai sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun, kami tidak melampaui batas dalam mencintai salah seorang di antara mereka. Kami tidak berlepas diri/membenci terhadap seorang pun diantara mereka. Kami membenci orang yang membenci mereka dan menjelek-jelekkan mereka. Kami tidak menceritakan mereka kecuali dengan kebaikan. Mencintai mereka adalah ajaran agama, bagian keimanan, dan bentuk ihsan. Adapun membenci mereka adalah kekafiran, sikap munafik dan melampaui batas/ekstrim.” (lihat Syarh al-’Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 467) Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata, “Termasuk Sunnah [pokok agama] adalah menyebut-nyebut kebaikan seluruh para Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, menahan diri dari perselisihan yang timbul diantara mereka. Barangsiapa yang mencela para Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau salah seorang diantara mereka maka dia adalah seorang tukang bid’ah pengikut paham Rafidhah/Syi’ah. MENCINTAI MEREKA PARA SAHABAT ADALAH SUNNAH DAN MENDOAKAN KEBAIKAN UNTUK MEREKA ADALAH IBADAH Meneladani mereka adalah sarana -beragama- dan mengambil atsar/riwayat mereka adalah sebuah keutamaan.” (lihat Qathful Jana ad-Daani, hal. 162) Imam Abu Zur’ah ar-Razi rahimahullah mengatakan, “Apabila kamu melihat ada seseorang yang menjelek-jelekkan salah seorang Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammaka ketahuilah bahwa dia adalah seorang zindik. Hal itu dikarenakan menurut kita Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah membawa kebenaran. Demikian pula, al-Qur’an yang beliau sampaikan adalah benar. Dan sesungguhnya yang menyampaikan kepada kita al-Qur’an dan Sunnah-Sunnah ini adalah para Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan sesungguhnya mereka -para pencela Sahabat- hanyalah bermaksud untuk menjatuhkan kedudukan para saksi kita demi membatalkan al-Kitab dan as-Sunnah. Maka mereka itu lebih pantas untuk dicela, dan mereka itu adalah orang-orang zindik.” (lihatQathful Jana ad-Daani Syarh Muqaddimah Ibnu Abi Zaid al-Qairuwani, hal. 161) ASWAJA MENJUNJUNG TINGGI DA'WAH TAUHID Imam Bukhari rahimahullah memulai kitab Sahih-nya dengan Kitab Bad’il Wahyi [permulaan turunnya wahyu]. Kemudian setelah itu beliau ikuti dengan Kitab al-Iman. Kemudian yang ketiga adalah Kitab al-’Ilmi. Hal ini dalam rangka mengingatkan, bahwasanya kewajiban yang paling pertama bagi setiap insan adalah beriman [baca: beraqidah yang benar/bertauhid]. Sementara sarana untuk menuju hal itu adalah ilmu. Kemudian, yang menjadi sumber/rujukan iman dan ilmu adalah wahyu [yaitu al-Kitab dan as-Sunnah] (lihat dalam mukadimah tahqiq kitab ‘Aqidah Salaf wa Ash-habul Hadits, hal. 6) Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Iman terdiri dari tujuh puluh sekian atau enam puluh sekian cabang. Yang paling utama adalah ucapan laa ilaha illallah dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan rasa malu adalah salah satu cabang keimanan.” (HR. Bukhari dan Muslim) Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan bahwa bagian iman yang paling utama adalah tauhid yang hukumnya wajib ‘ain atas setiap orang, dan itulah perkara yang tidaklah dianggap sah/benar cabang-cabang iman yang lain kecuali setelah sahnya hal ini (tauhid).” (lihat Syarh Muslim [2/88]) Tidaklah diragukan bahwasanya tauhid merupakan cahaya yang Allah anugerahkan kepada hamba-hamba yang dikehendaki-Nya. Adapun syirik adalah kegelapan-kegelapan yang sebagiannya lebih pekat daripada sebagian yang lain; yang hal itu dijadikan tampak indah bagi orang-orang kafir. Allah ‘azza wa jalla berfirman (yang artinya), “Apakah orang yang sudah mati -hatinya- lalu Kami hidupkan dan Kami jadikan baginya cahaya untuk bisa berjalan diantara manusia sama keadaannya dengan orang seperti dirinya yang tetap terjebak di dalam kegelapan-kegelapan dan tidak bisa keluar darinya. Demikianlah dijadikan indah bagi orang-orang kafir itu apa yang mereka lakukan.” (QS. Al-An’aam: 122) (lihat penjelasan ini dalam kitab Nur at-Tauhid wa Zhulumat asy-Syirki, oleh Dr. Sa’id bin Wahf al-Qahthani hafizhahullah, hal. 4) Syaikh Ahmad bin Yahya an-Najmi rahimahullah berkata, “… sesungguhnya memperhatikan perkara tauhid adalah prioritas yang paling utama dan kewajiban yang paling wajib. Sementara meninggalkan dan berpaling darinya atau berpaling dari mempelajarinya merupakan bencana terbesar yang melanda. Oleh karenanya, menjadi kewajiban setiap hamba untuk mempelajarinya dan mempelajari hal-hal yang membatalkan, meniadakan atau menguranginya, demikian pula wajib baginya untuk mempelajari perkara apa saja yang bisa merusak/menodainya.” (lihat asy-Syarh al-Mujaz, hal. 8) Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma, beliau menuturkan bahwa tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu ke negeri Yaman, maka beliau berpesan kepadanya, “Sesungguhnya engkau akan mendatangi sekelompok orang dari kalangan Ahli Kitab, maka jadikanlah perkara pertama yang kamu serukan kepada mereka syahadat laa ilaha illallah.” Dalam sebagian riwayat disebutkan, “Supaya mereka mentauhidkan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim) Betapa pun beraneka ragam umat manusia dan berbeda-beda problematika mereka, sesungguhnya dakwah kepada tauhid adalah yang pokok. Sama saja apakah masalah yang menimpa mereka dalam hal perekonomian sebagiamana yang dialami penduduk Madyan -kaum Nabi Syu’aib ‘alaihis salam- atau masalah mereka dalam hal akhlak sebagaimana yang menimpa kaum Nabi Luth ‘alaihis salam. Bahkan, meskipun masalah yang mereka hadapi adalah dalam hal perpolitikan! Sebab realitanya umat para nabi terdahulu itu -pada umumnya- tidak diterapkan pada mereka hukum-hukum Allah oleh para penguasa mereka… Tauhid tetap menjadi prioritas yang paling utama! (lihat Sittu Duror min Ushuli Ahli al-Atsar oleh Syaikh Abdul Malik Ramadhani hafizhahullah, hal. 18-19) Apabila memelihara kesehatan tubuh adalah dengan mengkonsumsi makanan bergizi dan obat-obatan, maka sesungguhnya memelihara tauhid adalah dengan ilmu dan dakwah. Sementara tidak ada suatu ilmu yang bisa memelihara tauhid seperti halnya ilmu al-Kitab dan as-Sunnah. Demikian pula tidak ada suatu dakwah yang bisa menyingkap syirik dengan jelas sebagaimana dakwah yang mengikuti metode keduanya [al-Kitab dan as-Sunnah, pent] (lihat asy-Syirk fi al-Qadiim wa al-Hadiits, hal. 6). Wallahu a’lam bish shawaab.

Jumat, 01 Mei 2015

Hadits-Hadits Lemah dan Palsu Seputar Bulan Rajab

Hadits-Hadits Lemah dan Palsu Seputar Bulan Rajab





Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullah berkata: “Adapun hadits-hadits yang menyebutkan tentang keutamaan bulan Rajab, keutamaan berpuasa Rajab, atau keutamaan berpuasa beberapa hari pada bulan tersebut, maka terbagi menjadi dua: (1) hadits-haditsnya maudhu’ (palsu), dan (2) hadits-haditsnya dha’if (lemah) (yakni tidak ada satupun yang shahih, pent).”
Beliau juga berkata: “Tidak ada satu hadits shahih pun yang bisa dijadikan hujjah tentang keutamaan bulan Rajab, berpuasa Rajab, berpuasa di hari-hari tertentu bulan Rajab, maupun keutamaan shalat malam pada bulan tersebut.” [Tabyiinul ‘Ajab Fiimaa Warada Fii Fadhaa-ili Rajab]
Bulan Rajab merupakan salah satu dari empat bulan haram yang Allah subhanahu wata’ala muliakan sebagaimana firman-Nya:
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْراً فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kalian menzhalimi (menganiaya) diri kalian dalam bulan yang empat itu.” [At-Taubah: 36]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan bahwa empat bulan haram tersebut adalah Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab sebagaimana dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslimrahimahumallah dari shahabat Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu.
Dinamakan bulan haram karena kemuliaan dan kehormatan bulan tersebut melebihi bulan-bulan yang lain, sehingga pada bulan-bulan ini Allah haramkan peperangan, kecuali jika musuh (orang-orang kafir) yang lebih dahulu memulai penyerangan terhadapkaum muslimin.
Tentang firman Allah subhanahu wata’ala di atas, “Maka janganlah kalian menzhalimi (menganiaya) diri kalian dalam bulan yang empat itu”, sebagian mufassirin menjelaskan bahwa pada dasarnya perbuatan zhalim dan segala bentuk kemaksiatan -kapan saja dan di mana saja dikerjakan- itu merupakan dosa dan kemungkaran yang besar, namun ketika Allah mengkhususkan penyebutan larangan berbuat zhalim pada bulan-bulan haram yang empat sebagaimana ayat di atas, menunjukkan bahwa kezhaliman dan kemaksiatan yang dilakukan pada bulan-bulan haram tersebut dosanya berlipat dibandingkan jika dilakukan pada bulan-bulan yang lain. 
Walaupun bulan Rajab merupakan salah satu dari bulan haram yang memiliki nilai kehormatan dan kemuliaan, namun umat Islam tidak disyari’atkan untuk mengkhususkan bulan tersebut dengan melakukan ibadah-ibadah tertentu atau mengadakan ritual-ritual khusus yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Bahkan mengkhususkan bulan tersebut dengan AMAL ibadah tertentu -seperti shalat raghaib, puasa Rajab, menyembelih hewan, dan lainnya- merupakan kebid’ahan dan kemungkaran yang telah dianggap baik oleh sebagian (besar) umat Islam. Wal ‘Iyadzubillah.
Benar bahwasanya shalat, puasa, dan menyembelih hewan merupakan amalan baik lagi mulia yang bisa mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wata’ala. Namun sekali lagi, kalau amalan-amalan tersebut dikhususkan pada bulan Rajab dengankaifiyah dan tata cara tertentu, maka pelakunya telah menyelisihi petunjuk dan bimbingan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Perlu kita ketahui bahwa salah satu sebab terjadinya ini semua adalah tersebarnya hadits-hadits yang lemah (dha’if) dan bahkan tidak sedikit yang palsu (maudhu’) terkait dengan bulan Rajab ini di tengah-tengah kaum muslimin. Tidak bisa dipungkiri bahwa hadits-hadits yang dha’if dan maudhu’ itu memberikan andil yang cukup besar dalam mendorong dan membangkitkan semangat umat Islam untuk beramal di bulan yang ketujuh dalam penanggalan hijriyah ini.
Kaum muslimin rahimakumullah.
Berikut ini beberapa hadits lemah dan palsu terkait bulan Rajab yang sudah tersebar di tengah-tengah umat. Sengaja kami sebutkan agar kita semua mengetahui hadits-hadits tersebut sehingga tidak menjadikannya sebagai sandaran dalam beramal, apalagi menisbatkannya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
كَانَ النّبِي صلى الله عليه وسلم إِذَا دَخَلَ رَجَب قال : اللّهُمّ بَارِكْ لَنَا فِي رَجَبٍ وَشَعْبَانَ وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ.
“Adalah Nabi ketika memasuki bulan Rajab, beliau berdo’a:
اللّهُمّ بَارِكْ لَنَا فِي رَجَبٍ وَشَعْبَانَ وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ
“Ya Allah, limpahkanlah barakah pada kami di bulan Rajab dan Sya’ban, dan sampaikanlah kami kepada bulan Ramadhan.” [hadits dha’if sebagaimana dinyatakan oleh An-Nawawi rahimahullah]
فَضْلُ شَهْرِ رَجَبٍ عَلَى الشُّهُورِ كَفَضْلِ القُرآنِ عَلى سَائِرِ الكَلامِ، وَفَضْلُ شَهْرِ شَعْبانَ عَلَى الشّهُورِ كَفَضْلِي عَلَى سَائِرِ اْلأَنْبِياءِ، وَفَضْلُ شَهْرِ رَمَضانَ كَفَضلِ اللهِ عَلى سَائِرِ الْعِبَادِ.
“Keutamaan bulan Rajab atas bulan-bulan yag lain adalah seperti keutamaan Al-Qur’an atas seluruh perkataan, keutamaan bulan Sya’ban atas bulan-bulan yag lain adalah seperti keutamaanku atas seluruh para nabi, dan keutamaan bulan Ramadhan atas bulan-bulan yag lain adalah seperti keutamaan Allah atas seluruh hamba.” [hadits maudhu’ sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Hajar rahimahullah]
إِنّ شّهرَ رَجبٍ شهرٌ عظيمٌ مَنْ صامَ فِيه يَومًا كَتَبَ اللهُ بِه صَومَ ألْفِ سَنَةٍ.
“Sesungguhnya bulan Rajab adalah bulan yang agung, barangsiapa yang berpuasa sehari di bulan itu, maka Allah tuliskan untuknya (pahala) puasa seribu tahun.” [hadits maudhu’ sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Hajar rahimahullah]
إِنّ فِي الْجنَةِ نَهْرًا يُقالُ لَه رَجَبٌ أَشَدُّ بَياضًا مِن اللّبَنِ وَأَحْلَى مِن الْعَسلِ، مَن صَامَ يَومًا مِن رَجَبٍ سَقاهُ اللهُ تَعالَى مِنْ ذَلكَ النّهرِ.
“Sesungguhnya di al-jannah (surga) itu ada sebuah sungai yang dinamakan Rajab, airnya lebih putih daripada susu, dan rasanya lebih manis daripada madu, barangsiapa yang berpuasa sehari pada bulan Rajab, Allah ta’ala akan memberi minum kepadanya dari sungai tersebut.” [hadits maudhu’]
إنَّ فِي الْجنّةِ نَهْراً يُقالُ له رَجَبٌ مَاؤُهُ الرّحِيقُ، مَنْ شَرِبَ مِنه شُربةً لَمْ يَظْمَأْ بَعدَها أبَداً، أَعَدّهُ اللهُ لِصَوَّامِ رَجَبٍ.
“Sesungguhnya di al-jannah itu terdapat sebuah sungai yang dinamakan Rajab, airnya adalah ar-rahiq (sejenis minuman yang paling lezat rasanya), yang barangsiapa minum darinya seteguk saja, dia tidak akan merasakan haus selamanya. Sungai tersebut Allah sediakan untuk orang yang sering berpuasa Rajab.” [hadits bathil, serupa dengan maudhu’]
صَومُ أَوّلِ يَومٍ مِن رَجَبٍ كَفّارَةُ ثَلاثِ سِنِيْنَ ، وَالثّانِي كَفّارةُ سَنَتَيْنِ ،والثّالِثُ كَفّارةُ سَنَة ثُمّ كُلّ يومٍ شهْراً.
“Berpuasa pada hari pertama bulan Rajab sebagai kaffarah (penebus dosa) selama tiga tahun, pada hari kedua sebagai kaffarah selama dua tahun, dan pada hari ketiga sebagai kaffarah selama setahun, kemudian setiap harinya sebagai kaffarah selama sebulan.” [hadits dha’if]
رَجَبٌ شَهرُ اللهِ وَشَعبانُ شَهرِيْ وَرَمضانُ شَهرُ أُمّتِي.
“Rajab adalah bulan Allah, Sya’ban adalah bulanku, dan Ramadhan adalah bulan ummatku.” [hadits maudhu’]
خِيَرَةُ اللهِ مِن الشُّهورِ شَهرُ رجبٍ، وَهُوَ شَهرُ اللهِ، مَنْ عَظّمَ شَهرَ رَجب فَقَدْ عَظّم أمرَ اللهِ، وَمَن عَظّمَ أمرَ اللهِ أَدْخَلَهُ جَنّاتِ النّعِيمِ وَأَوجَبَ لَه.
“Pilihan Allah dari bulan-bulan yang ada adalah jatuh pada bulan Rajab, dia adalah bulan Allah, barangsiapa yang mengagungkan bulan Rajab, maka sungguh dia telah mengagungkan perintah Allah, dan barangsiapa yang mengagungkan perintah Allah, maka Allah akan masukkan dia ke dalam surga yang penuh kenikmatan, dan itu pasti buat dia.” [hadits maudhu’]
مَنْ صَامَ ثلاثةَ أيّامٍ مِن شَهرٍ حَرامٍ كَتَبَ اللهُ عِبادةَ تِسْعِمِائَةِ سَنَةٍ.
“Barangsiapa yang berpuasa tiga hari pada bulan haram, Allah tulis baginya (pahala) ibadah selama 900 tahun.” [hadits dha’if]
مَنْ صَلّى بَعدَ الْمَغربِ أَوّلَ لَيْلَةٍ مِن رجبٍ عِشْرِينَ رَكْعَةً جَازَ عَلَى الصِّرَاطِ بِلاَ نَجَاسَةٍ.
“Barangsiapa yang mengerjakan shalat setelah maghrib pada malam pertama bulan Rajab sebanyak 20 raka’at, maka dia akan melewati shirath dengan tanpa hisab.” [hadits maudhu’]
إنّ شَهرَ رجبٍ شهرٌ عظيمٌ مَنْ صامَ مِنهُ يَوماً كَتبَ اللهُ لَه صومَ أَلْفِ سَنَةٍ وَمَنْ صامَ يَومَيْنِ كَتَبَ الله له صيامَ أَلْفَيْ سَنَةٍ وَمَنْ صام ثلاثةَ أيّامٍ كَتب الله له صيامَ ثلاثةِ ألفِ سَنة ومَن صامَ مِن رجبٍ سَبعةَ أيّامٍ أُغْلِقَتْ عنه أبوابُ جهنّمَ وَمَن صامَ مِنهُ ثَمانِيَةَ أيّامٍ فُتِحَتْ له أبوابُ الْجَنّةِ الثّمانِيةُ يَدخُلُ مِن أَيِّها يَشَاءُ …
“Sesungguhynya bulan Rajab adalah bulan yang agung, barangsiapa yang berpuasa sehari, Allah tuliskan baginya puasa seribu tahun, barangsiapa berpuasa dua hari, Allah tuliskan baginya puasa 2000 tahun, barangsiapa yang berpuasa tiga hari, Allah tuliskan baginya puasa 3000 tahun, barangsiapa berpuasa di bulan Rajab selama tujuh hari, maka pintu-pintu jahannam tertutup darinya, barangsiapa yang berpuasa delapan hari, pintu-pintu al-jannah yang delapan akan dibuka untuknya, dia dipersilakan masuk dari pintu mana saja yang dia kehendaki……” [hadits maudhu’]
مَن صامَ يوماً مِن رجب كانَ كَصِيامِ سَنةٍ، ومن صام سَبعةَ أيّامٍ غُلِّقَتْ عَنهُ أبوابُ جَهَنّمَ ومَن صامَ ثَمانِيةَ أيّامٍ فُتِحَتْ لَه ثَمَانِيةُ أبوابِ الْجَنّةِ وَمن صامَ عَشْرَةَ أيّامٍ لَمْ يَسْأَلِ اللهَ شيئاً إلاّ أعطاهُ اللهُ ومَن صامَ خَمسةَ عَشَرَ يوماً نَادى مُنادٍ فِي السّماءِ قَدْ غُفِرَ لَكَ مَا سَلَفَ.
“Barangsiapa yang berpuasa sehari pada bulan Rajab, maka dia akan mendapatkan pahala seperti berpuasa selama setahun, barangsiapa yang berpuasa selama tujuh hari, pintu-pintu jahannah akan tertutup darinya, barangsiapa yang berpuasa selama delapan hari, maka delapan pintu al-jannah akan terbuka untuknya, barangsiapa yang berpuasa selama sepuluh hari, maka tidaklah dia memohon sesuatu kepada Allah kecuali pasti Allah beri, dan barangsiapa yang berpuasa selama 15 hari, maka ada penyeru dari langit yang akan memanggil dia: sungguh dosa-dosamu yang telah lalu telah terampuni.” [hadits maudhu’]
مَن صامَ يوماً مِن رَجَبٍ وصَلّى فِيهِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ يَقْرَأُ فِي أوّلِ رَكْعَةٍ مِائَةَ مَرّةٍ آيةَ الْكُرسِي، وَفِي الرّكْعةِ الثّانِيَةِ قُل هُو الله أحَدٌ مِائَةَ مَرّةٍ لَمْ يَمُتْ حَتّى يَرَى مَقْعَدَهُ مِن الْجَنّةِ أَوْ يُرَى لَهُ.
“Barangsiapa yang berpuasa sehari pada bulan Rajab, dan shalat empat rakaat yang pada rakaat pertama membaca ayat kursi sebanyak seratus kali, kemudian pada rakaat kedua membaca ‘qul huwallahu ahad’ seratus kali, maka tidaklah dia meninggal sampai dia melihat tempat duduknya di al-jannah atau diperlihatkan kepadanya.” [hadits maudhu’]
مَنْ أَحْيَا لَيْلَةً مِن رجبٍ وصَامَ يوماً، أَطْعَمَهُ الله مِن ثِمارِ الْجَنّةِ، وَكَساهُ مِن حُلَلِ الْجَنّة وسَقاهُ مِن الرّحِيقِ الْمَخْتُومِ، إِلاّ مَنْ فَعَلَ ثَلاثاً : مَنْ قَتَلَ نَفْساً، أَوْ سَمِع مُسْتَغِيثاً يَسْتَغِيْثُ بِلَيْلٍ أو نَهارٍ فَلَم يُغِثْهُ ، أَو شَكَا إِليه أَخُوهُ حَاجَةً فَلَمْ يُفَرِّجْ عَنهُ.
“Barangsiapa yang menghidupkan satu malam di bulan Rajab dan berpuasa sehari di bulan tersebut, maka Allah akan memberikan dia makanan dari buah-buahan al-jannah, pakaian dari al-jannah, dan minuman dari ar-rahiqul makhtum, kecuali orang yang melakukan tiga perbuatan: (1) orang yang membunuh satu jiwa, atau (2) mendengar orang lain meminta minum, malam maupun siang tetapi dia tidak mau memberikannya, atau (3) ada saudaranya yang mengeluhkan kepadanya suatu kebutuhannyam, namun dia tidak mau memberikan jalan keluar untuknya.” [hadits maudhu’]
خَمسُ لَيالٍ لاَ تُردُّ فِيهِنّ الدّعْوَةُ : أَوّلُ لَيلةٍ مِن رَجَبٍ، وَلَيْلَةُ النِّصْفِ مِن شَعبانَ، وَلَيْلَةُ الْجُمُعةِ، وَليلةُ الْفِطْرِ، وَلَيلةُ النّحْرِ.
“Ada lima malam yang jika sebuah doa dipanjatkan padanya, maka tidak akan tertolak: (1) malam pertama bulan Rajab, (2) malam nishfu (pertengahan) Sya’ban, (3) malam Jum’at, (4) malam ‘idul fithri, (2) malam hari Nahr (malam 10 Dzulhijjah).” [hadits maudhu’]
مَن صامَ ثلاثةَ أيامٍ مِن رجب كَتَبَ اللهُ لَه صِيامَ شَهْرٍ ، وَمن صامَ سَبعةَ أيّامٍ مِن رَجَبٍ أَغْلَقَ الله سَبعةَ أبوابٍ مِن النّارِ ، وَمن صامَ ثَمانِيةَ أيّامٍ مِن رجبٍ فَتَحَ الله لَه ثَمانِيَةَ أبوابٍ مِن الْجَنّةِ، ومن صامَ نِصفَ رَجَبٍ كَتَبَ الله له رِضوانَه، وَمن كُتِب لَه رِضْوانُه لَم يُعَذِّبْه، ومَن صامَ رجب كُلَّه حَاسَبَه الله حِساباً يَسِيراً.
“Barangsiapa yang berpuasa tiga hari bulan Rajab, Allah akan menuliskan untuknya pahala puasa selama sebulan, barangsiapa yang berpuasa tujuh hari bulan Rajab, Allah akan tutup tujuh pintu neraka, barangsiapa yang berpuasa delapan hari bulan Rajab, Allah akan bukakan untuknya delapan pintu al-jannah, barangsiapa yang berpuasa pada pertengahan bulan Rajab, maka Allah akan menuliskan untuknya keridhaan-Nya, dan barangsiapa yang dituliskan baginya keridhaan-Nya, pasti Allah tidak akan mengadzabnya, dan barangsiapa yang berpuasa Rajab satu bulan penuh, maka Allah akan menghisabnya dengan hisab yang mudah.” [hadits maudhu’]
أَكْثِرُوا مِن الاسْتِغْفارِ فِي شهرِ رَجَبٍ، فَإِنّ لِلّهِ فِي كُلِّ سَاعةٍ مِنه عُتقاءَ مِن النّارِ، وَإِنّ لِلّهِ مَدَائِنَ لاَ يَدخُلُها إِلاّ مَن صامَ رَجَب.
“Perbanyaklah istighfar pada bulan Rajab, karena sesungguhnya pada setiap waktu Allah memiliki hamba-hamba-Nya yang akan dibebaskan dari neraka,dan seungguhnya Allah memiliki kota-kota yang tidaklah ada yang bisa memasukinya kecuali orang yang berpuasa Rajab.” [hadits bathil]
بُعِثْتُ نَبِياً فِي السّابِع وَالْعِشْرِينَ مِن رجبٍ، فَمن صامَ ذلك اليومَ كانَ كَفّارَةُ سِتِّيْنَ شَهْراً.
“Aku diutus sebagai nabi pada 27 Rajab, barangsiapa yang berpuasa pada hari itu, maka itu sebagai kaffarah (penebus dosa) selama 60 bulan.” [hadits munkar]
أَنّ اللهَ أَمَرَ نُوحاً بِعَمَلِ السّفِينَةِ فِي رَجَبٍ وَأَمَرَ الْمُؤمِنِيْنَ الّذِينَ مَعَهُ بِصِيامِهِ.
“Sesungguhnya Allah memerintahkan nabi Nuh untuk membuat perahu pada bulan Rajab dan memerintahkan kaum mukminin yang bersama beliau untuk berpuasa.” [hadits maudhu’]
مَن صامَ مِن كُلِّ شَهرٍ حَرامٍ : الْخَمِيس، والْجُمُعة، والسّبْت كُتِبتْ لَه عِبَادَةُ سَبْعِمِائةِ سَنَة.
“Barangsiapa yang berpuasa pada setiap bulan haram hari Kamis, Jum’at, dan Sabtu, maka akan dituliskan baginya pahala ibadah selama 700 tahun.” [hadits dha’if]
Beberapa hadits yang disebutkan di atas merupakan sebagiannya saja dari sekian banyak hadits lemah dan palsu terkait bulan Rajab. Wallahul musta’an.