Bismillah
nyanyian dan music
Mungkin ada di antara kita yang pernah
mendengar bahwa Islam melarang adanya music/nyanyian. Padahal telah kita
ketahui bahwa sesuatu yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya pasti memiliki
banyak keburukan bagi manusia.
Keprihatinan yang dalam akan kita rasakan,
kalau kita melihat ulah generasi muda Islam saat ini yang cenderung liar dalam
bermain musik atau bernyanyi. Mungkin mereka berkiblat kepada penyanyi atau
kelompok musik terkenal yang umumnya memang bermental bejat dan bobrok serta
tidak berpegang dengan nilai-nilai Islam. Atau mungkin juga, mereka cukup sulit
atau jarang mendapatkan teladan permainan musik dan nyanyian yang Islami di
tengah suasana hedonistik yang mendominasi kehidupan saat ini. Walhasil,
generasi muda Islam akhirnya cenderung membebek kepada para pemusik atau
penyanyi sekuler yang sering mereka saksikan atau dengar di TV, radio, kaset,
VCD, dan berbagai media lainnya.
Tak dapat diingkari, kondisi memprihatinkan
tersebut tercipta karena sistem kehidupan kita telah menganut paham sekularisme
yang sangat bertentangan dengan Islam. Muhammad Quthb mengatakan
sekularisme adalah iqamatul hayati ‘ala ghayri asasin minad dîn,
artinya, mengatur kehidupan dengan tidak berasaskan agama (Islam). Atau dalam
bahasa yang lebih tajam, sekularisme menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani
adalah memisahkan agama dari segala urusan kehidupan (fashl ad-din ‘an
al-hayah) (Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Nizhâm Al-Islâm,
hal. 25). Dengan demikian, sekularisme sebenarnya tidak sekedar terwujud dalam
pemisahan agama dari dunia politik, tetapi juga nampak dalam pemisahan agama
dari urusan seni budaya, termasuk seni musik dan seni vokal (nyanyian).
Dengan cara apa, upaya yg dapat kita lakukan untuk mendobrak
kondisi sekarang ini?? Yakni dengan jalan mendobrak dan merobohkan sistem
kehidupan sekuler yang ada, lalu di atas reruntuhannya kita bangun sistem
kehidupan Islam, yaitu sebuah sistem kehidupan yang berasaskan semata pada
Aqidah Islamiyah sebagaimana dicontohkan Rasulullah Saw dan para shahabatnya.
Tulisan ini
bertujuan menjelaskan secara ringkas hukum musik dan menyanyi dalam pandangan
fiqih Islam. Diharapkan, norma-norma Islami yang disampaikan dalam makalah ini
tidak hanya menjadi bahan perdebatan akademis atau menjadi wacana semata,
tetapi juga menjadi acuan dasar atau hujjah untuk merumuskan bagaimana bermusik dan
bernyanyi dalam perspektif Islam.
Ada baiknya jika sebelumnya saya sampaikan,
bahwa hukum menyanyi dan bermain musik bukan hukum yang disepakati oleh para
fuqaha, melainkan hukum yang termasuk dalam masalah khilafiyah. Jadi
para ulama mempunyai pendapat berbeda-beda dalam masalah ini (Syaikh
Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah,
hal. 41-42; Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf
an-Nas, hal. 96; Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam
Pandangan Islam, hal. 21-25; Toha Yahya Omar, Hukum Seni
Musik, Seni Suara, Dan Seni Tari Dalam Islam, hal. 3). Karena itu, bisa
jadi pendirian saya dalam tulisan ini akan berbeda dengan pendapat sebagian
fuqaha atau ulama lainnya. adapun Pendapat-pendapat Islami seputar musik dan
menyanyi yang berbeda dengan pendapat saya, tetap saya hormati.
A. Dalil-Dalil Yang Mengharamkan Nyanyian:
1. Berdasarkan firman Allah:
ومن الناس من يشتري لهو الحديث ليضل عن سبيل ا لله بغير
علم ويتخذها هزوا
“Dan di antara manusia ada orang yang
mempergunakan perkataan yang tidak berguna (lahwal hadits) untuk menyesatkan
manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu
ejekan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan.” (Qs. Luqmân
[31]: 6)
Beberapa ulama menafsirkan maksud lahwal hadits ini sebagai nyanyian,
musik atau lagu, di antaranya al-Hasan, al-Qurthubi, Ibnu Abbas r'a dan Ibnu
Mas’ud r'a.
2. dan firman Allah;
واستفزز من
استطعت منهم بصوتك
Hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara
mereka dengan suaramu.” (Al-Isra : 64)
Yang dimaksud dengan “shaut” ialah nyanyian dan seruling.
(Abi Bakar Jabir
al-Jazairi, Haramkah Musik Dan Lagu? (al-I’lam bi Anna al-‘Azif wa
al-Ghina Haram), hal. 20-22).
3. . Hadits Abu
Malik Al-Asy’ari ra bahwa Rasulullah Saw bersabda:
ليكونن من أمتي
أقوام يستحلون الحر والحرير والخمر والمعازف
“Sesungguhnya akan ada di kalangan umatku
golongan yang menghalalkan zina, sutera, arak, dan alat-alat musik (al-ma’azif).”
[HR. Bukhari, Shahih Bukhari, hadits no. 5590 dan Abu
dawud].
4. . Hadits Aisyah
ra Rasulullah Saw bersabda:
“Sesungguhnya Allah mengharamkan
nyanyian-nyanyian (qoynah) dan menjualbelikannya, mempelajarinya atau
mendengar-kannya.” Kemudian beliau membacakan ayat di atas. [HR. Ibnu
Abi Dunya dan Ibnu Mardawaih].
5. Hadits dari Ibnu Mas’ud ra, Rasulullah Saw
bersabda:
“Nyanyian itu bisa menimbulkan nifaq,
seperti air menumbuhkan kembang.” [HR. Ibnu Abi Dunya dan al-Baihaqi,
hadits mauquf].
6. Hadits dari Abu Umamah ra, Rasulullah Saw
bersabda:
“Orang yang bernyanyi, maka Allah SWT
mengutus padanya dua syaitan yang menunggangi dua pundaknya dan memukul-mukul
tumitnya pada dada si penyanyi sampai dia berhenti.” [HR. Ibnu Abid
Dunya.].
7. Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Auf ra
bahwa Rasulullah Saw bersabda:
“Sesungguhnya aku dilarang dari suara yang
hina dan sesat, yaitu: 1. Alunan suara nyanyian yang melalaikan dengan iringan
seruling syaitan (mazamirus syaithan). 2. Ratapan seorang ketika mendapat
musibah sehingga menampar wajahnya sendiri dan merobek pakaiannya dengan
ratapan syetan (rannatus syaithan).”
8. Hadits dari Nafi’ ra, dia berkata:
Aku berjalan bersama Abdullah Bin Umar r'a.
Dalam perjalanan kami mendengar suara seruling, maka dia menutup telinganya
dengan telunjuknya terus berjalan sambil berkata; “Hai Nafi, masihkah kau
dengar suara itu?” sampai aku menjawab tidak. Kemudian dia lepaskan jarinya
dan berkata; “Demikianlah yang dilakukan Rasulullah Saw.” [HR. Ibnu Abid
Dunya dan al-Baihaqi]
9 . Ibnu Taimiyyah rahimahullah menyebutkan
beberapa di antara bahayanya musik:
- Musik bagi
jiwa seperti arak karena banyak orang yang melakukan berbagai kekejian
seperti zina dan penganiayaan dikarenakan mabuknya musik dan penyanyi yang
membawakannya. Al-Fadhil bin ‘Iyadh berkata, “Nyanyian adalah
tangga menuju zina.”
- Musik
dapat menyebabkan pecandunya lebih mencintai penyanyi atau pemain musik
lebih daripada cintanya kepada Allah sehingga cintanya tersebut dapat
menjatuhkannya ke dalam kesyirikan tanpa dia sadari.
- Musik
melalaikan manusia dari ketaatan kepada Allah. Berapa banyak orang yang
lebih menyukai musik daripada mendengarkan Al-Qur’an? Berapa banyak orang
yang melalaikan sholat karena hatinya tertambat pada lagu atau musik? Maka
benarlah apa yang dikatakan oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullah,
“Tidak seorang pun yang mendengarkan nyanyian kecuali hatinya munafik
yang ia sendiri tidak merasa. Andaikata ia mengerti hakikat kemunafikan
pasti ia akan melihat kemunafikan itu di dalam hatinya, sebab tidak
mungkin berkumpul di dalam hati seseorang antara ” cinta nyanyian” dan
“cinta Al-Qur’an”, kecuali yang satu mengusir yang lain.” Juga perkataan
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, “Nyanyian
menimbulkan kemunafikan dalam hati seperti air menumbuhkan sayuran, sedang
dzikir menumbuhkan iman dalam hati seperti air menumbuhkan tanaman.”
Serta Imam Ahmad rahimahullah, “Nyanyian itu dapat
menumbuhkan kemunafikan di dalam hati.” Kemudian ketika ditanya
tentang syair-syair Arab yang dinyanyikan, beliau berkata, “Aku tidak
menyukainya, ia adalah amalan baru, tidak boleh duduk bersama untuk
mendengarkannya.”
10. . Dari Abu Hurairah ra,
sesungguhnya Umar melewati shahabat Hasan
sedangkan ia sedang melantunkan sya’ir di masjid. Maka Umar memicingkan mata
tidak setuju [HR. Muslim, juz II, hal. 485].
11. Jumhur ulama berpendapat bahwa musik dan
nyanyian adalah sesuatu yang terlarang, seperti Imam Abu Hanifah dan Imam
Asy-Syafi’i yang berpendapat bahwa nyanyian itu tidak disukai karena
menyerupai kebatilan, adapun mendengarkan lagu adalah termasuk dosa.
Imam syafi’i dalam kitab Al-Qadha’ bahwa
nyanyian adalah sia-sia yang hukumnya dibenci (tidak diperbolehkan) karena
menyerupai barang bathil, siapa yang memperbanyaknya adalah jahil tidak di
terima persaksiannya
B. Dalil-Dalil Yang Menghalalkan Nyanyian:
1. Nyanyian di
hari raya yang dilakukan oleh wanita. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah
hadist yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.
“Rasulullah masuk menemui ‘Aisyah. Di dekatnya ada dua anak
perempuan yang sedang memainkan rebana. Lalu Abu Bakar membentak mereka, maka
Rasulullah bersabda: biarkanlah mereka, karena setiap kaum mempunyai hari raya
dan hari raya kita adalah hari ini.” (HR. Bukhari)
2. Nyanyian yang diiringi terbang (rebana) pada waktu pernikahan
dengan maksud memeriahkan atau mengumumkan akad nikah dan mendorong orang untuk
menikah tanpa berisi pujian akan kecantikan seseorang atau pelanggaran terhadap
syari’at. Namun nyanyian ini dinyanyikan oleh wanita dan diperdengarkan di
kalangan wanita pula.
Diriwayatkan dari Ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz, ia berkata, “Pernah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke tempatku ketika saya menikah.
Beliau duduk di atas kasurku dan jarak beliau dengan saya seperti jarak tempat
dudukku dengan tempat dudukmu. Untuk memeriahkan pernikahan kami, beberapa
orang gadis tetangga kami menabuh rebana dan menyanyikan lagu-lagu yang
mengisahkan para pahlawan Perang Badar. Ketika mereka asyik bernyanyi, ada
salah seorang di antara mereka yang mendendangkan, ‘Di tengah-tengah kita ada
Nabi yang mengetahui apa yang akan terjadi besok.’ Mendengar syair seperti itu
Nabi berkata kepadanya, ‘Tinggalkan ucapan seperti itu! Bernyanyilah
seperti nyanyian-nyanyian sebelumnya saja!’” (HR. Bukhari dalam Fâth al-Bârî, juz. III, hal. 113, dari Aisyah
ra].
3. Nyanyian/sya'ir pada waktu kerja yang mendorong untuk giat dan
rajin bekerja terutama bila mengandung do’a atau nyanyian yang berisi tauhid
atau cinta kepada Rasulullah yang menyebut akhlaknya atau berisi ajakan jihad,
memperbaiki budi pekerti, mengajak persatuan, tolong-menolong sesama umat atau
menyebut dasar-dasar Islam.
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan rahimahullah berkata bahwa syair-syair yang diperdengarkan
di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah dilantunkan
dengan paduan suara semacam nyanyian-nyanyian, dan tidak pula dinamakan
nasyid-nasyid Islami, namun ia hanyalah syair-syair Arab yang mencakup
hukum-hukum dan tamtsil (permisalan), penunjukan sifat keperwiraan dan
kedermawanan. Selain itu, para sahabat melantunkannya secara sendirian
dikarenakan makna yang terdapat di dalamnya. Mereka melantunkan sebagai syair
ketika bekerja yang melelahkan, seperti membangun (masjid) serta berjalan di
waktu malam saat safar (jihad). Maka perbuatan mereka ini menunjukkan atas
diperbolehkannya lantunan (syair) ini, dalam keadaan khusus (seperti) ini.
Selain itu, mereka tidak pernah menjadikan nyanyian sebagai kebiasaan yang
dilakukan terus-menerus, karena para shahabat adalah generasi yang selalu mengisi
hari-harinya dengan Al-Qur’an dan tidak pernah tersibukkan dengan selain
Al-Qur’an.
4. Adapun
terbang (rebana) hanya boleh dimainkan pada waktu hari raya serta pernikahan
dan tidak boleh dipakai ketika berdzikir seperti yang biasa dilakukan oleh kaum
sufi, karena Rasulullah dan para shahabatnya tidak pernah melakukannya
Dengan menelaah
dalil-dalil tersebut di atas (dan dalil-dalil lainnya), akan nampak adanya
kontradiksi (ta’arudh) satu dalil dengan dalil lainnya Atas dasar itu,
kedua dalil yang seolah bertentangan di atas dapat dipahami sebagai berikut :
bahwa dalil yang mengharamkan menunjukkan hukum umum nyanyian. Sedang dalil
yang membolehkan, menunjukkan hukum khusus, atau perkecualian (takhsis),
yaitu bolehnya nyanyian pada tempat, kondisi, atau peristiwa tertentu yang
dibolehkan syara’, seperti pada hari raya. Atau dapat pula dipahami bahwa dalil
yang mengharamkan menunjukkan keharaman nyanyian secara mutlak. Sedang dalil
yang menghalalkan, menunjukkan bolehnya nyanyian secara muqayyad (ada
batasan atau kriterianya) (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam
Pandangan Islam, hal. 63-64; Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash
wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 102-103).
Dari sini kita dapat memahami bahwa nyanyian
ada yang diharamkan, dan ada yang dihalalkan. Nyanyian haram didasarkan
pada dalil-dalil yang mengharamkan nyanyian, yaitu nyanyian yang disertai
dengan kemaksiatan atau kemunkaran, baik berupa perkataan (qaul),
perbuatan (fi’il), atau sarana (asy-yâ’), misalnya disertai
khamr, zina, penampakan aurat, ikhtilath (campur baur
pria–wanita), atau syairnya yang bertentangan dengan syara’,
misalnya mengajak pacaran, mendukung pergaulan bebas, mempropagandakan
sekularisme, liberalisme, nasionalisme, dan sebagainya. Nyanyian halal
didasarkan pada dalil-dalil yang menghalalkan, yaitu nyanyian yang kriterianya
adalah bersih dari unsur kemaksiatan atau kemunkaran. Misalnya nyanyian yang
syairnya memuji sifat-sifat Allah SWT, mendorong orang meneladani Rasul,
mengajak taubat dari judi, mengajak menuntut ilmu, menceritakan keindahan alam
semesta, dan semisalnya (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam
Pandangan Islam, hal. 64-65; Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash
wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 103).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar