Sabtu, 10 Oktober 2015

IAPAKAH ASWAJA ITU DAN APAKAH YANG MENGAKU ASWAJA ITU ADALAH BENAR BENAR ASWAJA

الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين . اما بعد Kaum muslimin yang dirahmati Allah, istilah ‘aswaja’ bagi sebagian orang mungkin istilah yang asing. Apa itu aswaja? Ya, aswaja adalah singkatan dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Sehingga pada hakikatnya makna dari istilah aswaja adalah suatu hal yang sangat mulia. Sebab Ahlus Sunnah wal Jama’ah merupakan umat Islam yang berpegang teguh dengan Sunnah/ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah atau sering diringkas menjadi Ahlus Sunnah adalah istilah yang populer di kalangan para ulama. Misalnya, apa yang dituturkan oleh Imam an-Nawawi rahimahullah di dalam Syarah Sahih Muslim ketika menukil penjelasan hakikat iman. Beliau berkata, “Imam Abul Hasan ‘Ali bin Khalaf bin Baththal al-Maliki al-Maghribi di dalam Syarh Sahih Bukhari (Syarh Ibnu Baththal, pent) mengatakan: Madzhab jama’ahAhlus Sunnah dari kalangan umat terdahulu maupun yang belakangan menetapkan bahwasanya iman adalah ucapan dan amalan, bertambah dan berkurang…” (lihat Syarh Muslim lin Nawawi [2/7]) Imam Muslim rahimahullah di dalam mukadimah Sahih Muslim juga telah menyebutkan penukilan istilah Ahlus Sunnah dari ulama terdahulu, yaitu Imam Ibnu Sirin rahimahullah. Ibnu Sirin mengatakan, “Dahulu mereka [pendahulu yang salih, pent] tidak menanyakan tentang isnad/rantai periwayatan. Akan tetapi setelah terjadinya fitnah [kekacauan] mereka pun berkata: ‘Sebutkan kepada kami rijal/para periwayat kalian’. Apabila mereka adalahAhlus Sunnah maka diambillah haditsnya. Dan apabila mereka adalah ahli bid’ah maka tidak diambil haditsnya.” (lihat Syarh Muslim lin Nawawi [1/243]) Begitu pula Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Di dalam risalahnya yang berjudulShifatul Mu’min min Ahlis Sunnah wal Jama’ah, beliau berkata, “Sifat seorang mukmin dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah: orang yang mempersaksikan bahwa tidak ada ilah/sesembahan yang benar selain Allah semata dan tiada sekutu bagi-Nya dan bahwasanya Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, dst.” (lihat ‘Aqaa’id A’immah as-Salaf, hal. 40) Imam Abu Ja’far ath-Thahawi rahimahullah dari Mesir juga menukilkan istilah Ahlus Sunnah ini di dalam bagian awal mukadimah kitab aqidah beliau. Beliau berkata, “Ini adalah penyebutan keterangan tentang aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah sebagaimana yang dianut oleh para ulama agama ini seperti Abu Hanifah an-Nu’man bin Tsabit al-Kufi, dst.” (lihat ar-Riyadh an-Nadiyah min Durari Ifadat ‘Ulama ad-Da’wah as-Salafiyah ‘ala Matn al-’Aqidah ath-Thahawiyah, oleh Syaikh ‘Ali al-Halabi hafizhahullah, hal. 15) BAHKAN ISTILAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH INI TELAH DIKENAL OLEH PARA SAHABAT RADHIYALLAHU'ANHUM Imam Ibnu Katsir rahimahullah menukil keterangan dari Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu’anhuma mengenai tafsir ayat, يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ “Pada hari itu akan memutih wajah-wajah dan akan menghitam wajah-wajah yang lain.” (QS. Ali ‘Imran: 106). Imam Ibnu Katsir berkata, “Pada hari itu -yaitu hari kiamat- akan memutih wajah Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan akan menghitam wajah ahli bid’ah dan furqah/perpecahan. Inilah yang dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [2/92] cet Dar Thaybah, baca juga Tafsir al-Baghawi, hal. 234) APA MAKNA ISTILAH 'AHLUS SUNNAH...? Kaum muslimin yang dirahmati Allah, istilah aswaja atau Ahlus Sunnah adalah istilah yang mulia. Namun, istilah yang agung ini hanya akan menjadi penghias bibir saja jika tidak dilandasi dengan ilmu dan penerapan akan makna dan kandungannya. Setiap orang atau kelompok bisa saja mengklaim bahwa dirinya adalah Ahlus Sunnah atau aswaja, namun belum tentu pengakuan mereka itu bisa diterima. Seperti yang diungkapkan oleh salah seorang penyair, “ Semua orang mengaku punya hubungan dengan Laila, “ tetapi Laila tidak merestui dakwaan mereka Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang sesuai dengan as-Sunnah maka dia adalah pengikut Sunnah [baca: Ahlus Sunnah]. Dan barangsiapa yang menyelisihi as-Sunnah maka dia bukanlah pengikut Sunnah.” (lihat Syarh al-’Aqidah al-Wasithiyah [1/53]) Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah orang-orang yang berpegang teguh dengan Sunnah/tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka dan meniti jalan mereka dalam hal keyakinan, ucapan, dan amalan. Mereka adalah orang-orang yang istiqomah di atas ittiba’ [mengikuti tuntunan] dan berupaya untuk menjauhi ibtida’/membuat bid’ah (lihat al-Wajiz fi Aqidati as-Salaf ash-Shalih, hal. 30 oleh Abdullah bin Abdul Hamid al-Atsari hafizhahullah) Syaikh Ibrahim bin ‘Amir ar-Ruhaili hafizhahullah berkata, “..Sesungguhnya mereka -Ahlus Sunnah- adalah orang-orang yang berpegang teguh dengan Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam serta mengikuti apa-apa yang telah disepakati oleh para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik sampai hari ini. MEREKA TIDAK MENYELISIHI DALAM HAL HAL POKOK POKOK AGAMA Termasuk di dalamnya adalah orang-orang awam diantara kaum muslimin yang mengikuti mereka.” (lihat Mauqif Ahlis Sunnah wal Jama’ah min Ahlil Bida’ wal Ahwa’ [1/38]) AHLUS SUNNAH DIKENAL DENGAN AHLUL HADITS, YANG BERUSAHA UNTUK MENGIKUTI HADITS HADITS Ahlus Sunnah juga dikenal dengan sebutan Ahlul Hadits wal Atsar dikarenakan begitu kuatnya mereka dalam berpegang teguh dan memperhatikan dengan serius hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dalam hal periwayatan maupun penjabaran kandungannya. Mereka lah orang-orang yang berusaha kuat untuk senantiasa mengikuti hadits dan mengedepankannya di atas logika dan pandangan manusia (lihat Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 18 Dr. Muhammad bin Husain al-Jizani) Salah seorang imam dari kalangan tabi’ut tabi’in Abu ‘Amr al-Auza’i rahimahullah berkata, “Wajib atasmu untuk mengikuti atsar/jejak orang-orang yang terdahulu [salafus shalih, pent] meskipun orang-orang menolakmu. Dan jauhilah olehmu pendapat akal-akal manusia meskipun mereka menghias-hiasinya dengan ucapan yang menarik.” (lihat dalam Syarh Lum’at al-I’tiqad oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, hal. 42) Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menerangkan, “Maksud dari ungkapan ‘wajib atasmu untuk mengikuti jejak orang-orang terdahulu’ adalah berpegang teguhlah dengan jalan para Sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, dikarenakan jalan itu tegak dibangun di atas al-Kitab dan as-Sunnah.” (lihat Syarh Lum’at al-I’tiqad, hal. 44) Nasehat Para Ulama Aswaja Dari penjelasan-penjelasan para ulama di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa karakter pokok dari Aswaja (baca: Ahlus Sunnah wal jama’ah) adalah berpegang teguh dengan atsar/hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh sebab itu para imam yang empat; Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Ahmad -semoga Allah merahmati mereka- sangat tegas dalam hal ini. BERIKUT INI SEBAGIAN DARI UCAPAN MEREKA Imam Abu Hanifah rahimahullah berkata, “Apabila suatu hadits sahih maka itulah madzhabku.” Beliau juga pernah mengatakan, “Haram hukumnya bagi orang yang tidak mengetahui dalilku untuk berfatwa dengan ucapanku.” Beliau bahkan mengatakan, “Jika aku mengatakan suatu pendapat yang menyelisihi Kitabullah ta’ala dan khabar/hadits Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam maka tinggalkanlah pendapatku.” (lihat Shifat Sholat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, hal. 46-48) Imam Malik bin Anas rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya saya ini hanyalah manusia biasa, bisa salah dan bisa benar. Maka perhatikanlah pendapat-pendapatku. Setiap yang sesuai dengan al-Kitab dan as-Sunnah ambillah! Dan setiap yang tidak sesuai dengan al-Kitab dan as-Sunnah maka tinggalkanlah!” (lihat Shifatu Shalatin Nabi, hal. 48) Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Kaum muslimin telah sepakat bahwa barangsiapa yang telah jelas baginya Sunnah/hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka tidak halal baginya meninggalkan hadits itu karena perkataan siapapun.” Beliau juga berkata, “Semua hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka itu adalah pendapatku, meskipun kalian tidak mendengarnya dariku.” (lihat Shifatu Shalatin Nabi, hal. 50-52) MENOLAK HADITS RASUL, SAMA HALNYA BERADA DITEPI JURANG. DAN AGAR SELALU MENDAHULUKAN ATSAR YANG BERSANDARKAN PADA HADITS SHAHIH Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang menolak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka dia berada di tepi jurang kehancuran.” Beliau juga mengatakan, “Sesungguhnya yang menjadi hujjah/dasar hukum adalah apa yang terdapat di dalam atsar/hadits.” (lihat Shifatu Shalatin Nabi, hal. 52) Muhammad bin Sirin rahimahullah berkata, “Para ulama kita dahulu senantiasa mengatakan: Apabila seseorang itu berada di atas atsar, maka itu artinya dia berada di atas jalan yang benar.” (lihat Da’a’im Minhaj Nubuwwah, hal. 47) Imam al-Ajurri rahimahullah berkata, “Ciri orang yang dikehendaki kebaikan oleh Allah adalah meniti jalan ini; Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta Sunnah para Sahabatnya radhiyallahu’anhum dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Dia mengikuti jalan para imam kaum muslimin yang ada di setiap negeri sampai para ulama yang terakhir diantara mereka; semisal al-Auza’i, Sufyan ats-Tsauri, Malik bin Anas, asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, al-Qasim bin Sallam, dan orang-orang yang berada di atas jalan yang mereka tempuh serta dengan menjauhi setiap madzhab/aliran yang dicela oleh para ulama tersebut.” (lihat Da’a’im Minhaj Nubuwwah, hal. 49) Imam ad-Darimi meriwayatkan dalam Sunannya, demikian juga al-Ajurri dalam asy-Syari’ah, dari az-Zuhri rahimahullah, beliau berkata, “Para ulama kami dahulu senantiasa mengatakan, “Berpegang teguh dengan Sunnah adalah keselamatan.”.” ‘Umar bin Abdul ‘Aziz rahimahullah berkata, “Hendaknya kamu berpegang teguh dengan Sunnah, karena ia -dengan izin Allah- akan menjaga dirimu.” (lihat Da’a’im Minhaj an-Nubuwwah, hal. 340-341) ASWAJA MENCINTAI DAN MENGIKUTI JALAN SALAFUS SHALIH Imam Abul Qasim at-Taimi rahimahullah berkata, “Syi’ar Ahlus Sunnah adalah komitmen mereka untuk ittiba’ kepada salafus shalih dan meninggalkan segala ajaran yang bid’ah dan diada-adakan.” (lihat Fashlu al-Maqal fi Wujub Ittiba’ as-Salaf al-Kiram, hal. 49) Imam Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi rahimahullah berkata, “Sunnah adalah jalan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun al-Jama’ah adalah jama’ah kaum muslimin; mereka itu adalah para sahabat, dan para pengikut setia mereka hingga hari kiamat. Mengikuti mereka adalah petunjuk, sedangkan menyelisihi mereka adalah kesesatan.” (lihat Syarh al-’Aqidah ath-Thahawiyah, takhrij Syaikh al-Albani, hal. 382 cet. al-Maktab al-Islami) Allah ta’ala berfirman, وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ “Orang-orang yang terdahulu dan pertama-tama dari kalangan Muhajirin dan Anshar, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah meridhai mereka, dan mereka pun meridhai-Nya. Allah sediakan untuk mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya. Itulah kemenangan yang sangat besar.” (QS. at-Taubah: 100) Allah ta’ala berfirman, وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًاوَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا “Barangsiapa yang menentang rasul setelah jelas baginya petunjuk, dan dia mengikuti selain jalan orang-orang beriman, maka Kami biarkan dia bersama kesesatannya, dan Kami akan memasukkannya ke dalam Jahannam. Dan sesungguhnya Jahannam itu adalah sejelek-jelek tempat kembali.” (QS. an-Nisaa’: 115) Allah ta’ala berfirman mengenai para Sahabat dalam ayat-Nya, لَقَدْ رَضِيَ اللَّهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ “Sungguh, Allah telah ridha kepada orang-orang yang beriman yaitu ketika mereka bersumpah setia kepadamu (Muhammad) di bawah pohon itu.” (QS. al-Fath: 18). Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan di dalam tafsirnya bahwa jumlah para sahabat yang ikut serta dalam sumpah setia/bai’at di bawah pohon itu -yang dikenal dengan Bai’atur Ridhwan- adalah 1400 orang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak akan masuk neraka seorang pun di antara orang-orang [para sahabat] yang ikut berbai’at di bawah pohon itu.” (HR. Muslim) (lihat Syarh al-’Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 469) Salafus shalih atau pendahulu yang baik merupakan sebutan bagi tiga generasi terbaik umat ini, yaitu para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Jalan yang mereka tempuh adalah kebenaran, sedangkan menyimpang dari jalan mereka adalah kesesatan. Adapun istilahsalafi (pengikut salaf) merupakan penisbatan/penyandaran diri kepada salafus shalih. Hal itu sebagaimana dijelaskan oleh para ulama semacam as-Sam’ani dalam kitabnya al-Ansaabdan adz-Dzahabi dalam kitabnya Siyar A’lamin Nubala’ . Contohnya pujian Imam adz-Dzahabi kepada ad-Daruquthni, “Lelaki ini tidak pernah menyentuh ilmu kalam/filsafat dan perdebatan. Beliau pun tidak suka membicarakannya. Beliau adalah seorang salafi.” (lihat Al-Manhaj as-Salafi ‘inda asy-Syaikh al-Albani, hal. 12 oleh Amru Abdul Mun’im Salim) Dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Sesungguhnya Bani Isra’il berpecah menjadi tujuh puluh dua golongan. Adapun umatku akan berpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya di neraka kecuali satu golongan saja.” Mereka pun bertanya, “Siapakah golongan itu wahai Rasulullah?”. Beliau menjawab, “Orang-orang yang mengikuti aku dan para sahabatku.” (HR. Tirmidzi, dihasankan Syaikh al-Albani) Dari al-’Irbadh bin Sariyah radhiyallahu’anhu, beliau menuturkan: Pada suatu hari tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sholat mengimami kami, kemudian beliau menghadap kepada kami. RASULULLAH BERPESAN AGAR MENGIKUTI JALAN MEREKA YANG BERJALAN DIATAS SUNNAH DAN MENJAUHI PERKARA YANG DIADA ADAKAN DAN MENDENGARKAN PERKATAAN SIAPAPUN JIKA ITU PERKATAAN YANG BERJALAN DIATAS KEBENARAN. Beliau pun menasehati kami dengan suatu nasehat yang membuat air mata berlinang dan hati merasa takut. Maka ada seseorang yang berkata, “Wahai Rasulullah! Seakan-akan ini adalah nasehat seorang yang hendak berpisah. Apakah yang hendak anda pesankan kepada kami?”. Beliau pun bersabda, “Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, tetap mendengar dan patuh, meskipun pemimpinmu adalah seorang budak Habasyi. Barangsiapa diantara kalian yang masih hidup sesudahku akan melihat banyak perselisihan. Oleh sebab itu berpegang teguhlah kalian dengan Sunnah/ajaranku dan Sunnah para khalifah yang lurus lagi mendapat hidayah. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham kalian! Jauhilah perkara-perkara yang diada-adakan, karena setiap ajaran yang diada-adakan itu bid’ah. Dan setiap bid’ah adalah sesat” (HR. Abu Dawud, disahihkan Syaikh al-Albani) Salafiyah adalah sebuah manhaj/metode beragama. Ia bukanlah sekumpulan orang atau suatu tanzhim/organisasi tertentu, sebagaimana disangka sebagian orang. Menyandarkan diri kepada salafiyah merupakan penisbatan yang terpuji. Karena hakikat dari salafiyah itu adalah mengikuti cara beragama para Sahabat Nabi, baik dalam hal keyakinan, keimanan, fiqh, pemahaman, tata cara ibadah, akhlak, tarbiyah, demikian pula dalam haltazkiyatun nafs/penyucian jiwa (lihat al-Manhaj as-Salafi ‘inda asy-Syaikh al-Albani, hal. 13) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Tidaklah tercela orang yang menampakkan madzhab salaf, menisbatkan diri dan merasa mulia dengannya. Sudah menjadi kewajiban kita untuk menerimanya sebagaimana telah disepakati oleh para ulama. Sebab madzhab salaf itu tidak lain adalah kebenaran itu sendiri.” (Majmu’ Fatawa [4/149] dinukil dari al-Manhaj as-Salafi ‘inda asy-Syaikh al-Albani, hal. 16) RASULULLAH ADALAH PENJAGA BAGI PARA SAHABAT DAN PARA SAHABAT ADALAH PENJAGA UMAT RASULULLAH Dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bintang-bintang adalah penjaga bagi langit. Apabila bintang-bintang itu lenyap maka akan menimpa langit apa yang dijanjikan atasnya (kehancuran). Aku adalah penjaga bagi para Sahabatku. Apabila aku pergi maka akan menimpa mereka apa yang dijanjikan atas mereka. Para Sahabatku juga menjadi penjaga bagi umatku. Apabila para Sahabatku telah pergi maka akan menimpa umatku apa yang dijanjikan atas mereka.” (HR. Muslim) Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian mencela para Sahabatku! Seandainya salah seorang diantara kalian berinfak emas sebesar gunung Uhud, niscaya hal itu tidak akan bisa menandingi kualitas infak mereka yang hanya satu mud/genggaman dua telapak tangan, bahkan setengahnya pun tidak.” (HR. Bukhari dan Muslim) Ibnu ‘Umar radhiyallahu’anhuma berkata, “Janganlah kalian mencela para sahabat Muhammad. Sungguh kebersamaan dan duduknya mereka -bersama Nabi- itu walaupun hanya sesaat jauh lebih baik daripada amalan salah seorang dari kalian seumur hidupnya.” (lihat al-Ibanah li Maa li ash-Shahabah minal Manzilah wa al-Makanah, hal. 180) Imam Bukhari membuat sebuah bab dalam Shahihnya dengan judul ‘Tanda keimanan adalah mencintai kaum Anshar’ (lihat Fath al-Bari [1/79 dan seterusnya]). Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tanda keimanan adalah mencintai Anshar, sedangkan tanda kemunafikan adalah membenci Anshar.” (HR. Bukhari). Dalam riwayat lain dikatakan, “Tidaklah membenci Anshar seorang lelaki yang beriman kepada Allah dan hari akhir.” (HR. Muslim). Dalam riwayat lain lagi disebutkan, “Mencintai Anshar adalah keimanan dan membenci mereka adalah kemunafikan.” (HR. Ahmad) Imam Abu Ja’far ath-Thahawi rahimahullah berkata, “Kami [Ahlus Sunnah] mencintai sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun, kami tidak melampaui batas dalam mencintai salah seorang di antara mereka. Kami tidak berlepas diri/membenci terhadap seorang pun diantara mereka. Kami membenci orang yang membenci mereka dan menjelek-jelekkan mereka. Kami tidak menceritakan mereka kecuali dengan kebaikan. Mencintai mereka adalah ajaran agama, bagian keimanan, dan bentuk ihsan. Adapun membenci mereka adalah kekafiran, sikap munafik dan melampaui batas/ekstrim.” (lihat Syarh al-’Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 467) Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata, “Termasuk Sunnah [pokok agama] adalah menyebut-nyebut kebaikan seluruh para Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, menahan diri dari perselisihan yang timbul diantara mereka. Barangsiapa yang mencela para Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau salah seorang diantara mereka maka dia adalah seorang tukang bid’ah pengikut paham Rafidhah/Syi’ah. MENCINTAI MEREKA PARA SAHABAT ADALAH SUNNAH DAN MENDOAKAN KEBAIKAN UNTUK MEREKA ADALAH IBADAH Meneladani mereka adalah sarana -beragama- dan mengambil atsar/riwayat mereka adalah sebuah keutamaan.” (lihat Qathful Jana ad-Daani, hal. 162) Imam Abu Zur’ah ar-Razi rahimahullah mengatakan, “Apabila kamu melihat ada seseorang yang menjelek-jelekkan salah seorang Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammaka ketahuilah bahwa dia adalah seorang zindik. Hal itu dikarenakan menurut kita Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah membawa kebenaran. Demikian pula, al-Qur’an yang beliau sampaikan adalah benar. Dan sesungguhnya yang menyampaikan kepada kita al-Qur’an dan Sunnah-Sunnah ini adalah para Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan sesungguhnya mereka -para pencela Sahabat- hanyalah bermaksud untuk menjatuhkan kedudukan para saksi kita demi membatalkan al-Kitab dan as-Sunnah. Maka mereka itu lebih pantas untuk dicela, dan mereka itu adalah orang-orang zindik.” (lihatQathful Jana ad-Daani Syarh Muqaddimah Ibnu Abi Zaid al-Qairuwani, hal. 161) ASWAJA MENJUNJUNG TINGGI DA'WAH TAUHID Imam Bukhari rahimahullah memulai kitab Sahih-nya dengan Kitab Bad’il Wahyi [permulaan turunnya wahyu]. Kemudian setelah itu beliau ikuti dengan Kitab al-Iman. Kemudian yang ketiga adalah Kitab al-’Ilmi. Hal ini dalam rangka mengingatkan, bahwasanya kewajiban yang paling pertama bagi setiap insan adalah beriman [baca: beraqidah yang benar/bertauhid]. Sementara sarana untuk menuju hal itu adalah ilmu. Kemudian, yang menjadi sumber/rujukan iman dan ilmu adalah wahyu [yaitu al-Kitab dan as-Sunnah] (lihat dalam mukadimah tahqiq kitab ‘Aqidah Salaf wa Ash-habul Hadits, hal. 6) Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Iman terdiri dari tujuh puluh sekian atau enam puluh sekian cabang. Yang paling utama adalah ucapan laa ilaha illallah dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan rasa malu adalah salah satu cabang keimanan.” (HR. Bukhari dan Muslim) Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan bahwa bagian iman yang paling utama adalah tauhid yang hukumnya wajib ‘ain atas setiap orang, dan itulah perkara yang tidaklah dianggap sah/benar cabang-cabang iman yang lain kecuali setelah sahnya hal ini (tauhid).” (lihat Syarh Muslim [2/88]) Tidaklah diragukan bahwasanya tauhid merupakan cahaya yang Allah anugerahkan kepada hamba-hamba yang dikehendaki-Nya. Adapun syirik adalah kegelapan-kegelapan yang sebagiannya lebih pekat daripada sebagian yang lain; yang hal itu dijadikan tampak indah bagi orang-orang kafir. Allah ‘azza wa jalla berfirman (yang artinya), “Apakah orang yang sudah mati -hatinya- lalu Kami hidupkan dan Kami jadikan baginya cahaya untuk bisa berjalan diantara manusia sama keadaannya dengan orang seperti dirinya yang tetap terjebak di dalam kegelapan-kegelapan dan tidak bisa keluar darinya. Demikianlah dijadikan indah bagi orang-orang kafir itu apa yang mereka lakukan.” (QS. Al-An’aam: 122) (lihat penjelasan ini dalam kitab Nur at-Tauhid wa Zhulumat asy-Syirki, oleh Dr. Sa’id bin Wahf al-Qahthani hafizhahullah, hal. 4) Syaikh Ahmad bin Yahya an-Najmi rahimahullah berkata, “… sesungguhnya memperhatikan perkara tauhid adalah prioritas yang paling utama dan kewajiban yang paling wajib. Sementara meninggalkan dan berpaling darinya atau berpaling dari mempelajarinya merupakan bencana terbesar yang melanda. Oleh karenanya, menjadi kewajiban setiap hamba untuk mempelajarinya dan mempelajari hal-hal yang membatalkan, meniadakan atau menguranginya, demikian pula wajib baginya untuk mempelajari perkara apa saja yang bisa merusak/menodainya.” (lihat asy-Syarh al-Mujaz, hal. 8) Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma, beliau menuturkan bahwa tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu ke negeri Yaman, maka beliau berpesan kepadanya, “Sesungguhnya engkau akan mendatangi sekelompok orang dari kalangan Ahli Kitab, maka jadikanlah perkara pertama yang kamu serukan kepada mereka syahadat laa ilaha illallah.” Dalam sebagian riwayat disebutkan, “Supaya mereka mentauhidkan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim) Betapa pun beraneka ragam umat manusia dan berbeda-beda problematika mereka, sesungguhnya dakwah kepada tauhid adalah yang pokok. Sama saja apakah masalah yang menimpa mereka dalam hal perekonomian sebagiamana yang dialami penduduk Madyan -kaum Nabi Syu’aib ‘alaihis salam- atau masalah mereka dalam hal akhlak sebagaimana yang menimpa kaum Nabi Luth ‘alaihis salam. Bahkan, meskipun masalah yang mereka hadapi adalah dalam hal perpolitikan! Sebab realitanya umat para nabi terdahulu itu -pada umumnya- tidak diterapkan pada mereka hukum-hukum Allah oleh para penguasa mereka… Tauhid tetap menjadi prioritas yang paling utama! (lihat Sittu Duror min Ushuli Ahli al-Atsar oleh Syaikh Abdul Malik Ramadhani hafizhahullah, hal. 18-19) Apabila memelihara kesehatan tubuh adalah dengan mengkonsumsi makanan bergizi dan obat-obatan, maka sesungguhnya memelihara tauhid adalah dengan ilmu dan dakwah. Sementara tidak ada suatu ilmu yang bisa memelihara tauhid seperti halnya ilmu al-Kitab dan as-Sunnah. Demikian pula tidak ada suatu dakwah yang bisa menyingkap syirik dengan jelas sebagaimana dakwah yang mengikuti metode keduanya [al-Kitab dan as-Sunnah, pent] (lihat asy-Syirk fi al-Qadiim wa al-Hadiits, hal. 6). Wallahu a’lam bish shawaab.

Jumat, 01 Mei 2015

Hadits-Hadits Lemah dan Palsu Seputar Bulan Rajab

Hadits-Hadits Lemah dan Palsu Seputar Bulan Rajab





Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullah berkata: “Adapun hadits-hadits yang menyebutkan tentang keutamaan bulan Rajab, keutamaan berpuasa Rajab, atau keutamaan berpuasa beberapa hari pada bulan tersebut, maka terbagi menjadi dua: (1) hadits-haditsnya maudhu’ (palsu), dan (2) hadits-haditsnya dha’if (lemah) (yakni tidak ada satupun yang shahih, pent).”
Beliau juga berkata: “Tidak ada satu hadits shahih pun yang bisa dijadikan hujjah tentang keutamaan bulan Rajab, berpuasa Rajab, berpuasa di hari-hari tertentu bulan Rajab, maupun keutamaan shalat malam pada bulan tersebut.” [Tabyiinul ‘Ajab Fiimaa Warada Fii Fadhaa-ili Rajab]
Bulan Rajab merupakan salah satu dari empat bulan haram yang Allah subhanahu wata’ala muliakan sebagaimana firman-Nya:
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْراً فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kalian menzhalimi (menganiaya) diri kalian dalam bulan yang empat itu.” [At-Taubah: 36]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan bahwa empat bulan haram tersebut adalah Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab sebagaimana dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslimrahimahumallah dari shahabat Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu.
Dinamakan bulan haram karena kemuliaan dan kehormatan bulan tersebut melebihi bulan-bulan yang lain, sehingga pada bulan-bulan ini Allah haramkan peperangan, kecuali jika musuh (orang-orang kafir) yang lebih dahulu memulai penyerangan terhadapkaum muslimin.
Tentang firman Allah subhanahu wata’ala di atas, “Maka janganlah kalian menzhalimi (menganiaya) diri kalian dalam bulan yang empat itu”, sebagian mufassirin menjelaskan bahwa pada dasarnya perbuatan zhalim dan segala bentuk kemaksiatan -kapan saja dan di mana saja dikerjakan- itu merupakan dosa dan kemungkaran yang besar, namun ketika Allah mengkhususkan penyebutan larangan berbuat zhalim pada bulan-bulan haram yang empat sebagaimana ayat di atas, menunjukkan bahwa kezhaliman dan kemaksiatan yang dilakukan pada bulan-bulan haram tersebut dosanya berlipat dibandingkan jika dilakukan pada bulan-bulan yang lain. 
Walaupun bulan Rajab merupakan salah satu dari bulan haram yang memiliki nilai kehormatan dan kemuliaan, namun umat Islam tidak disyari’atkan untuk mengkhususkan bulan tersebut dengan melakukan ibadah-ibadah tertentu atau mengadakan ritual-ritual khusus yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Bahkan mengkhususkan bulan tersebut dengan AMAL ibadah tertentu -seperti shalat raghaib, puasa Rajab, menyembelih hewan, dan lainnya- merupakan kebid’ahan dan kemungkaran yang telah dianggap baik oleh sebagian (besar) umat Islam. Wal ‘Iyadzubillah.
Benar bahwasanya shalat, puasa, dan menyembelih hewan merupakan amalan baik lagi mulia yang bisa mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wata’ala. Namun sekali lagi, kalau amalan-amalan tersebut dikhususkan pada bulan Rajab dengankaifiyah dan tata cara tertentu, maka pelakunya telah menyelisihi petunjuk dan bimbingan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Perlu kita ketahui bahwa salah satu sebab terjadinya ini semua adalah tersebarnya hadits-hadits yang lemah (dha’if) dan bahkan tidak sedikit yang palsu (maudhu’) terkait dengan bulan Rajab ini di tengah-tengah kaum muslimin. Tidak bisa dipungkiri bahwa hadits-hadits yang dha’if dan maudhu’ itu memberikan andil yang cukup besar dalam mendorong dan membangkitkan semangat umat Islam untuk beramal di bulan yang ketujuh dalam penanggalan hijriyah ini.
Kaum muslimin rahimakumullah.
Berikut ini beberapa hadits lemah dan palsu terkait bulan Rajab yang sudah tersebar di tengah-tengah umat. Sengaja kami sebutkan agar kita semua mengetahui hadits-hadits tersebut sehingga tidak menjadikannya sebagai sandaran dalam beramal, apalagi menisbatkannya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
كَانَ النّبِي صلى الله عليه وسلم إِذَا دَخَلَ رَجَب قال : اللّهُمّ بَارِكْ لَنَا فِي رَجَبٍ وَشَعْبَانَ وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ.
“Adalah Nabi ketika memasuki bulan Rajab, beliau berdo’a:
اللّهُمّ بَارِكْ لَنَا فِي رَجَبٍ وَشَعْبَانَ وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ
“Ya Allah, limpahkanlah barakah pada kami di bulan Rajab dan Sya’ban, dan sampaikanlah kami kepada bulan Ramadhan.” [hadits dha’if sebagaimana dinyatakan oleh An-Nawawi rahimahullah]
فَضْلُ شَهْرِ رَجَبٍ عَلَى الشُّهُورِ كَفَضْلِ القُرآنِ عَلى سَائِرِ الكَلامِ، وَفَضْلُ شَهْرِ شَعْبانَ عَلَى الشّهُورِ كَفَضْلِي عَلَى سَائِرِ اْلأَنْبِياءِ، وَفَضْلُ شَهْرِ رَمَضانَ كَفَضلِ اللهِ عَلى سَائِرِ الْعِبَادِ.
“Keutamaan bulan Rajab atas bulan-bulan yag lain adalah seperti keutamaan Al-Qur’an atas seluruh perkataan, keutamaan bulan Sya’ban atas bulan-bulan yag lain adalah seperti keutamaanku atas seluruh para nabi, dan keutamaan bulan Ramadhan atas bulan-bulan yag lain adalah seperti keutamaan Allah atas seluruh hamba.” [hadits maudhu’ sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Hajar rahimahullah]
إِنّ شّهرَ رَجبٍ شهرٌ عظيمٌ مَنْ صامَ فِيه يَومًا كَتَبَ اللهُ بِه صَومَ ألْفِ سَنَةٍ.
“Sesungguhnya bulan Rajab adalah bulan yang agung, barangsiapa yang berpuasa sehari di bulan itu, maka Allah tuliskan untuknya (pahala) puasa seribu tahun.” [hadits maudhu’ sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Hajar rahimahullah]
إِنّ فِي الْجنَةِ نَهْرًا يُقالُ لَه رَجَبٌ أَشَدُّ بَياضًا مِن اللّبَنِ وَأَحْلَى مِن الْعَسلِ، مَن صَامَ يَومًا مِن رَجَبٍ سَقاهُ اللهُ تَعالَى مِنْ ذَلكَ النّهرِ.
“Sesungguhnya di al-jannah (surga) itu ada sebuah sungai yang dinamakan Rajab, airnya lebih putih daripada susu, dan rasanya lebih manis daripada madu, barangsiapa yang berpuasa sehari pada bulan Rajab, Allah ta’ala akan memberi minum kepadanya dari sungai tersebut.” [hadits maudhu’]
إنَّ فِي الْجنّةِ نَهْراً يُقالُ له رَجَبٌ مَاؤُهُ الرّحِيقُ، مَنْ شَرِبَ مِنه شُربةً لَمْ يَظْمَأْ بَعدَها أبَداً، أَعَدّهُ اللهُ لِصَوَّامِ رَجَبٍ.
“Sesungguhnya di al-jannah itu terdapat sebuah sungai yang dinamakan Rajab, airnya adalah ar-rahiq (sejenis minuman yang paling lezat rasanya), yang barangsiapa minum darinya seteguk saja, dia tidak akan merasakan haus selamanya. Sungai tersebut Allah sediakan untuk orang yang sering berpuasa Rajab.” [hadits bathil, serupa dengan maudhu’]
صَومُ أَوّلِ يَومٍ مِن رَجَبٍ كَفّارَةُ ثَلاثِ سِنِيْنَ ، وَالثّانِي كَفّارةُ سَنَتَيْنِ ،والثّالِثُ كَفّارةُ سَنَة ثُمّ كُلّ يومٍ شهْراً.
“Berpuasa pada hari pertama bulan Rajab sebagai kaffarah (penebus dosa) selama tiga tahun, pada hari kedua sebagai kaffarah selama dua tahun, dan pada hari ketiga sebagai kaffarah selama setahun, kemudian setiap harinya sebagai kaffarah selama sebulan.” [hadits dha’if]
رَجَبٌ شَهرُ اللهِ وَشَعبانُ شَهرِيْ وَرَمضانُ شَهرُ أُمّتِي.
“Rajab adalah bulan Allah, Sya’ban adalah bulanku, dan Ramadhan adalah bulan ummatku.” [hadits maudhu’]
خِيَرَةُ اللهِ مِن الشُّهورِ شَهرُ رجبٍ، وَهُوَ شَهرُ اللهِ، مَنْ عَظّمَ شَهرَ رَجب فَقَدْ عَظّم أمرَ اللهِ، وَمَن عَظّمَ أمرَ اللهِ أَدْخَلَهُ جَنّاتِ النّعِيمِ وَأَوجَبَ لَه.
“Pilihan Allah dari bulan-bulan yang ada adalah jatuh pada bulan Rajab, dia adalah bulan Allah, barangsiapa yang mengagungkan bulan Rajab, maka sungguh dia telah mengagungkan perintah Allah, dan barangsiapa yang mengagungkan perintah Allah, maka Allah akan masukkan dia ke dalam surga yang penuh kenikmatan, dan itu pasti buat dia.” [hadits maudhu’]
مَنْ صَامَ ثلاثةَ أيّامٍ مِن شَهرٍ حَرامٍ كَتَبَ اللهُ عِبادةَ تِسْعِمِائَةِ سَنَةٍ.
“Barangsiapa yang berpuasa tiga hari pada bulan haram, Allah tulis baginya (pahala) ibadah selama 900 tahun.” [hadits dha’if]
مَنْ صَلّى بَعدَ الْمَغربِ أَوّلَ لَيْلَةٍ مِن رجبٍ عِشْرِينَ رَكْعَةً جَازَ عَلَى الصِّرَاطِ بِلاَ نَجَاسَةٍ.
“Barangsiapa yang mengerjakan shalat setelah maghrib pada malam pertama bulan Rajab sebanyak 20 raka’at, maka dia akan melewati shirath dengan tanpa hisab.” [hadits maudhu’]
إنّ شَهرَ رجبٍ شهرٌ عظيمٌ مَنْ صامَ مِنهُ يَوماً كَتبَ اللهُ لَه صومَ أَلْفِ سَنَةٍ وَمَنْ صامَ يَومَيْنِ كَتَبَ الله له صيامَ أَلْفَيْ سَنَةٍ وَمَنْ صام ثلاثةَ أيّامٍ كَتب الله له صيامَ ثلاثةِ ألفِ سَنة ومَن صامَ مِن رجبٍ سَبعةَ أيّامٍ أُغْلِقَتْ عنه أبوابُ جهنّمَ وَمَن صامَ مِنهُ ثَمانِيَةَ أيّامٍ فُتِحَتْ له أبوابُ الْجَنّةِ الثّمانِيةُ يَدخُلُ مِن أَيِّها يَشَاءُ …
“Sesungguhynya bulan Rajab adalah bulan yang agung, barangsiapa yang berpuasa sehari, Allah tuliskan baginya puasa seribu tahun, barangsiapa berpuasa dua hari, Allah tuliskan baginya puasa 2000 tahun, barangsiapa yang berpuasa tiga hari, Allah tuliskan baginya puasa 3000 tahun, barangsiapa berpuasa di bulan Rajab selama tujuh hari, maka pintu-pintu jahannam tertutup darinya, barangsiapa yang berpuasa delapan hari, pintu-pintu al-jannah yang delapan akan dibuka untuknya, dia dipersilakan masuk dari pintu mana saja yang dia kehendaki……” [hadits maudhu’]
مَن صامَ يوماً مِن رجب كانَ كَصِيامِ سَنةٍ، ومن صام سَبعةَ أيّامٍ غُلِّقَتْ عَنهُ أبوابُ جَهَنّمَ ومَن صامَ ثَمانِيةَ أيّامٍ فُتِحَتْ لَه ثَمَانِيةُ أبوابِ الْجَنّةِ وَمن صامَ عَشْرَةَ أيّامٍ لَمْ يَسْأَلِ اللهَ شيئاً إلاّ أعطاهُ اللهُ ومَن صامَ خَمسةَ عَشَرَ يوماً نَادى مُنادٍ فِي السّماءِ قَدْ غُفِرَ لَكَ مَا سَلَفَ.
“Barangsiapa yang berpuasa sehari pada bulan Rajab, maka dia akan mendapatkan pahala seperti berpuasa selama setahun, barangsiapa yang berpuasa selama tujuh hari, pintu-pintu jahannah akan tertutup darinya, barangsiapa yang berpuasa selama delapan hari, maka delapan pintu al-jannah akan terbuka untuknya, barangsiapa yang berpuasa selama sepuluh hari, maka tidaklah dia memohon sesuatu kepada Allah kecuali pasti Allah beri, dan barangsiapa yang berpuasa selama 15 hari, maka ada penyeru dari langit yang akan memanggil dia: sungguh dosa-dosamu yang telah lalu telah terampuni.” [hadits maudhu’]
مَن صامَ يوماً مِن رَجَبٍ وصَلّى فِيهِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ يَقْرَأُ فِي أوّلِ رَكْعَةٍ مِائَةَ مَرّةٍ آيةَ الْكُرسِي، وَفِي الرّكْعةِ الثّانِيَةِ قُل هُو الله أحَدٌ مِائَةَ مَرّةٍ لَمْ يَمُتْ حَتّى يَرَى مَقْعَدَهُ مِن الْجَنّةِ أَوْ يُرَى لَهُ.
“Barangsiapa yang berpuasa sehari pada bulan Rajab, dan shalat empat rakaat yang pada rakaat pertama membaca ayat kursi sebanyak seratus kali, kemudian pada rakaat kedua membaca ‘qul huwallahu ahad’ seratus kali, maka tidaklah dia meninggal sampai dia melihat tempat duduknya di al-jannah atau diperlihatkan kepadanya.” [hadits maudhu’]
مَنْ أَحْيَا لَيْلَةً مِن رجبٍ وصَامَ يوماً، أَطْعَمَهُ الله مِن ثِمارِ الْجَنّةِ، وَكَساهُ مِن حُلَلِ الْجَنّة وسَقاهُ مِن الرّحِيقِ الْمَخْتُومِ، إِلاّ مَنْ فَعَلَ ثَلاثاً : مَنْ قَتَلَ نَفْساً، أَوْ سَمِع مُسْتَغِيثاً يَسْتَغِيْثُ بِلَيْلٍ أو نَهارٍ فَلَم يُغِثْهُ ، أَو شَكَا إِليه أَخُوهُ حَاجَةً فَلَمْ يُفَرِّجْ عَنهُ.
“Barangsiapa yang menghidupkan satu malam di bulan Rajab dan berpuasa sehari di bulan tersebut, maka Allah akan memberikan dia makanan dari buah-buahan al-jannah, pakaian dari al-jannah, dan minuman dari ar-rahiqul makhtum, kecuali orang yang melakukan tiga perbuatan: (1) orang yang membunuh satu jiwa, atau (2) mendengar orang lain meminta minum, malam maupun siang tetapi dia tidak mau memberikannya, atau (3) ada saudaranya yang mengeluhkan kepadanya suatu kebutuhannyam, namun dia tidak mau memberikan jalan keluar untuknya.” [hadits maudhu’]
خَمسُ لَيالٍ لاَ تُردُّ فِيهِنّ الدّعْوَةُ : أَوّلُ لَيلةٍ مِن رَجَبٍ، وَلَيْلَةُ النِّصْفِ مِن شَعبانَ، وَلَيْلَةُ الْجُمُعةِ، وَليلةُ الْفِطْرِ، وَلَيلةُ النّحْرِ.
“Ada lima malam yang jika sebuah doa dipanjatkan padanya, maka tidak akan tertolak: (1) malam pertama bulan Rajab, (2) malam nishfu (pertengahan) Sya’ban, (3) malam Jum’at, (4) malam ‘idul fithri, (2) malam hari Nahr (malam 10 Dzulhijjah).” [hadits maudhu’]
مَن صامَ ثلاثةَ أيامٍ مِن رجب كَتَبَ اللهُ لَه صِيامَ شَهْرٍ ، وَمن صامَ سَبعةَ أيّامٍ مِن رَجَبٍ أَغْلَقَ الله سَبعةَ أبوابٍ مِن النّارِ ، وَمن صامَ ثَمانِيةَ أيّامٍ مِن رجبٍ فَتَحَ الله لَه ثَمانِيَةَ أبوابٍ مِن الْجَنّةِ، ومن صامَ نِصفَ رَجَبٍ كَتَبَ الله له رِضوانَه، وَمن كُتِب لَه رِضْوانُه لَم يُعَذِّبْه، ومَن صامَ رجب كُلَّه حَاسَبَه الله حِساباً يَسِيراً.
“Barangsiapa yang berpuasa tiga hari bulan Rajab, Allah akan menuliskan untuknya pahala puasa selama sebulan, barangsiapa yang berpuasa tujuh hari bulan Rajab, Allah akan tutup tujuh pintu neraka, barangsiapa yang berpuasa delapan hari bulan Rajab, Allah akan bukakan untuknya delapan pintu al-jannah, barangsiapa yang berpuasa pada pertengahan bulan Rajab, maka Allah akan menuliskan untuknya keridhaan-Nya, dan barangsiapa yang dituliskan baginya keridhaan-Nya, pasti Allah tidak akan mengadzabnya, dan barangsiapa yang berpuasa Rajab satu bulan penuh, maka Allah akan menghisabnya dengan hisab yang mudah.” [hadits maudhu’]
أَكْثِرُوا مِن الاسْتِغْفارِ فِي شهرِ رَجَبٍ، فَإِنّ لِلّهِ فِي كُلِّ سَاعةٍ مِنه عُتقاءَ مِن النّارِ، وَإِنّ لِلّهِ مَدَائِنَ لاَ يَدخُلُها إِلاّ مَن صامَ رَجَب.
“Perbanyaklah istighfar pada bulan Rajab, karena sesungguhnya pada setiap waktu Allah memiliki hamba-hamba-Nya yang akan dibebaskan dari neraka,dan seungguhnya Allah memiliki kota-kota yang tidaklah ada yang bisa memasukinya kecuali orang yang berpuasa Rajab.” [hadits bathil]
بُعِثْتُ نَبِياً فِي السّابِع وَالْعِشْرِينَ مِن رجبٍ، فَمن صامَ ذلك اليومَ كانَ كَفّارَةُ سِتِّيْنَ شَهْراً.
“Aku diutus sebagai nabi pada 27 Rajab, barangsiapa yang berpuasa pada hari itu, maka itu sebagai kaffarah (penebus dosa) selama 60 bulan.” [hadits munkar]
أَنّ اللهَ أَمَرَ نُوحاً بِعَمَلِ السّفِينَةِ فِي رَجَبٍ وَأَمَرَ الْمُؤمِنِيْنَ الّذِينَ مَعَهُ بِصِيامِهِ.
“Sesungguhnya Allah memerintahkan nabi Nuh untuk membuat perahu pada bulan Rajab dan memerintahkan kaum mukminin yang bersama beliau untuk berpuasa.” [hadits maudhu’]
مَن صامَ مِن كُلِّ شَهرٍ حَرامٍ : الْخَمِيس، والْجُمُعة، والسّبْت كُتِبتْ لَه عِبَادَةُ سَبْعِمِائةِ سَنَة.
“Barangsiapa yang berpuasa pada setiap bulan haram hari Kamis, Jum’at, dan Sabtu, maka akan dituliskan baginya pahala ibadah selama 700 tahun.” [hadits dha’if]
Beberapa hadits yang disebutkan di atas merupakan sebagiannya saja dari sekian banyak hadits lemah dan palsu terkait bulan Rajab. Wallahul musta’an.

Kamis, 12 Juni 2014

TENTANG NISYFU SYA'BAN


Allah ‘Azza wa Jalla telah mengingatkan dalam Al-Qur`an Al-Karim,
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“Pada hari ini, telah Kusempurnakan agama kalian untuk kalian, telah Kucukupkan nikmat-Ku kepada kalian, dan telah Kuridhai Islam sebagai agama bagi kalian.”[Al-Ma`idah: 3]
Allah Subhanahu Juga mengingatkan,
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan, untuk mereka, agama yang tidak Allah izinkan?” [Asy-Syura: 21]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan,
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang mengada-adakan (perkara baru) dalam urusan kami ini yang bukan berasal dari (urusan kami), perkara tersebut tertolak.” [Dikeluarkan oleh Al-Bukhary dan Muslim dari Aisyah radhiyallahu ‘anha]
Serta banyak lagi dalil lain yang senada dengan ayat-ayat dan hadits di atas.
Seluruh dalil tersebut menunjukkan secara tegas bahwa agama telah sempurna dan segala tuntunan keagamaan telah diterangkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Oleh karena itu, tidaklah boleh kita mengada-adakan perkara baru dalam agama dalam bentuk apapun, walau dengan niat baik.
Di antara bid’ah-bid’ah tersebut adalah perayaan malam Nishfu Sya’ban.
Secara global, seluruh hadits yang berkaitan dengan keutamaan Nishfu Sya’ban tidaklah memiliki riwayat kuat yang bisa dijadikan sandaran.
Hadits-hadits tentang keutamaan Nishfu Sya’ban tersebut terbagi dua:
Pertama: hadits-hadits yang menjelaskan keutamaan malam Nishfu Sya’ban secara umum.
Kedua: hadits-hadits yang menjelaskan keutamaan Nishfu Sya’ban dalam shalat dan ibadah tertentu.
Adapun hadits-hadits tentang keutamaan Nishfu Sya’ban dalam bentuk shalat atau ibadah tertentu, semuanya berupa riwayat palsu atau batil. Kebatilan riwayat diterangkan oleh Ibnul Jauzy dalam Al-Mandhuat (2/440-445 no. 1010-1014), Al-Baihaqy dalam Syu’ab Al-Iman (no. 3841), Abul Khaththab Ibnu Dihyah dalam Ada` Ma Wajab (hal. 79-80), Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam Al-Manar Al-Munif (no. 174-177), Abu Syamah Asy-Syafi’iy dalam Al-Ba’its Fi Inkar Al-Bida’ Wa Al-Hawadits (hal. 124-137) dan Al-‘Iraqy dalam Takhrij Ihya` ‘Ulum Ad-Din (no. 582). Dalam Iqtidha` Ash-Shirath Al-Mustaqim, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menukil kesepakatan para ulama akan kebatilan hadits-hadits tersebut.
Adapun hadits-hadits yang menjelaskan keutamaan Sya’ban secara umum, terdapat silang pendapat di kalangan ulama terdahulu dan belakangan.
Yang benar adalah bahwa hadits-hadits tersebut lemah, tidak bisa menjadi sandaran. Demikian pula dilemahkan oleh Ad-Daraquthny[1], Al-‘Uqaily dalam Adh-Dhu’afa (3/789 pada biografi Abdul Malik bin Abdul Malik), Ibnul Jauzy dalam Al-‘Ilal Al-Mutanahiyah (no. 915-924), Abul Khaththab Ibnu Dihyah dalam Ada` Ma Wajab(hal. 80), Abu Bakr Ibnul ‘Araby dalam Ahkam Al-Qur`an (4/1690), dan disetujui oleh Al-Qurthuby dalam Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur`an (16/128).
Abul Khaththab Ibnu Dihyah berkata, “Ulama Al-Jarh Wa At-Ta’dil berkata, ‘Tiada satu hadits pun yang shahih tentang Nishfu Sya’ban.’.”[2]
Ibnu Rajab berkata, “Pada keutamaan malam Nishfu Sya’ban, terjadi silang pendapat pada sejumlah hadits, yang kebanyakan ulama melemahkann (hadits) itu, sedangkan Ibnu Hibban menshahihkan sebagian (hadits) tersebut.”[3]
Abdurrahman bin Zaid bin Aslam (salah seorang murid tabi’in) berkata, “Saya tidak mendapati seorang pun di antara guru-guru dan para ahli fiqih kami yang menoleh kepada malam Nishfu Sya’ban, serta kami tidak mendapati seorang pun yang menyebut hadits Makhul[4] dan tidak (seorang pun) yang menganggap (bahwa Nishfu Sya’ban) memiliki keutamaan di atas selainnya.”[5]
Ketika seseorang berkata kepada Ibnu Abi Mulaikah (salah seorang panutan tabi’in dan merupakan ahli fiqih mereka di Madinah), “Sesungguhnya Ziyad An-Numairy berkata, ‘Sungguh malam Nishfu Sya’ban pahalanya seperti pahala malam Lailatul Qadr,’,” Ibnu Abi Mulaikah pun menjawab, “Andaikata Saya mendengar (Ziyad) mengucapkan hal tersebut, sedang di tanganku ada tongkat, sungguh Saya akan memukulnya dengan (tongkat) itu.”[6]
Ketika ditanya tentang sifat turun Ilahi pada malam Nishfu Sya’ban, Imam Abdullah bin Al-Mubarak menghardik penanya tersebut seraya menjawab, “Wahai orang yang lemah, pada malam Nishfu (saja)!? Bahkan Allah turun pada setiap malam.”[7]
Demikian beberapa uraian ulama salaf terdahulu tentang keutamaan malam Nishfu Sya’ban. Meskipun hadits tentang keutamaan umum malam Nishfu Sya’ban shahih, tiada dalil pada hadits tersebut yang menunjukkan pembolehan mengadakanritual-ritual ibadah yang sebagian kaum muslimin adakan. Karena, Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak pernah mencontohkan ibadah khusus, baik pada malam maupun siang Nishfu Sya’ban. Bahkan, pada malam Jum’at pun -padahal Jum’at penuh dengan keutamaan-, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
لَا تَخْتَصُّوا لَيْلَةَ الْجُمْعَةِ بِقِيَامٍ مِنْ بَيْنِ الْلَيَالِي وَلَا تَخْتَصُّوا يَوْمَ الْجُمْعَةِ بِصِيَامٍ مِنْ بَيْنِ الأَيَّامِ إلَّا أَنْ يَكُونَ فِي صَوْمٍ يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ.
“Janganlah kalian mengkhususkan malam Jum’at di antara malam-malam lain dengan shalat tertentu, dan janganlah kalian mengkhususkan hari Jum’at di antara hari-hari lain dengan berpuasa, kecuali pada kebiasaan puasa salah seorang di antara kalian.”[8]
Berdasarkan keterangan-keterangan yang telah berlalu, kami mengingatkan akan beberapa bid’ah yang kadang diamalkan pada Nishfu Sya’ban:
Pertama: mengerjakan shalat khusus untuk malam Nishfu Sya’ban.
Banyak bentuk shalat yang sebagian manusia kerjakan pada malam Nishfu Sya’ban ini yang di antaranya adalah yang Imam An-Nawawy Asy-Syafi’iy sebutkan dalam Al-Majmu (3/549). Beliau menegaskan, “Shalat yang dikenal dengan nama shalat Ragha’ib -yaitu shalat dua belas rakaat antara Maghrib dan Isya pada malam awal Jum’at di bulan Rajab- dan shalat seratus rakaat pada malam Nishfu Sya’ban. Kedua shalat ini adalah bid’ah dan kemungkaran yang sangat buruk. Janganlah tertipu dengan penyebutan dua shalat ini dalam Kitab Qutul Qulub dan Ihya` ‘Ulum Ad-Din. Jangan pula (tertipu) dengan hadits yang disebutkan dalam dua buku ini karena seluruh hal tersebut adalah batil ….”
Syaikh Ibnu Baz berkata, “Tentang keutamaan malam Nishfu Sya’ban, telah datang hadits-hadits yang tidak boleh dijadikan sebagai sandaran. Adapun (hadits-hadits) yang datang tentang keutamaan shalat pada malam itu, seluruhnya adalah (hadits) palsu sebagaimana yang telah diingatkan oleh banyak ulama.”
Kedua: mengkhususkan bacaan Yasin atau surah tertentu dalam shalat malam Nishfu Sya’ban.
Ketiga: berpuasa pada siang Nishfu Sya’ban. Hadits yang menjelaskan tentang puasa tersebut adalah palsu.
Keempat: merayakan malam Nishfu Sya’ban dengan acara makan dan semisalnya.
Kelima: menafsirkan bahwa “malam berberkah”, yang disebut pada ayat ke-3 dan ke-4 surah Ad-Dukhan, adalah malam Nishfu Sya’ban. Penafsiran ini tentunya tidak memiliki landasan kuat, bahkan menyelisihi ketegasan Al-Qur`an dan hadits.
Keenam: mengkhususkan doa tertentu pada malam Nishfu Sya’ban.
Ketujuh: ziarah kubur.
Kedelapan: dzikir berjamaah.
Demikian beberapa peringatan seputar malam Nishfu Sya’ban yang kami sarikan dari:
-          Hukm Al-Ihtifal Bi Lailah An-Nishf Min Sya’ban karya Syaikh Abdul ‘Aziz Ibnu Baz.
-          Kalimat Yasirah Tata’allaq Bi Syahr Sya’bakarya Syaikh Ibnu ‘Utsaimin.
-          Makalah tentang hadits malam Nishfu Sya’ban karya Hatim Al-‘Auny.
-          Al-Bida’ Al-Hauliyyah karya Abdullah At-Tuwaijiry.
Semoga tulisan ini bermanfaat untuk seluruh kaum muslimin dan menjaga mereka di atas kemurnian Islam dan Sunnah. Amin.



[1] Dalam Al-‘Ilal.
[2] Al-Ba’its hal. 127 karya Abu Syamah.
[3] Latha’if Al-Ma’arif.
[4] Yakni hadits Makhul tentang keutamaan Nishfu Sya’ban.
[5] Dikeluarkan oleh Ibnu Wadhdhah dalam Al-Bida’ dengan sanad yang shahih.
[6] Dikeluarkan oleh Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf no. 7928 dan Ibnu Wadhdhah no. 120 dengan sanad yang shahih.
[7] Dikeluarkan oleh Abu Ustman Ash-Shabuny Asy-Syafi’iy dalam ‘Aqidah Salaf no. 92.
[8] Diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.

Sabtu, 24 Mei 2014

HUKUM HIJAB,JILBAB,ATAU KERUDUNG dsb berdasarkan Syar'i


Bismillah
Diantara kewajiban kita sebagai muslim adalah taat dan patuh dgn apakata Allah dan apakata Rasulullah.
adapun konteks pembahasan kita kali ini adalah tentang berpakaian sebagaimana yang diperintahkan Allah dan Rasulnya bagi para wanita muslimah.
Allah azza wa jala berfirman:
ﻳَٰٓﺄَﻳُّﻬَﺎ ٱﻟﻨَّﺒِﻰُّ ﻗُﻞ ﻷَِّﺯْﻭَٰﺟِﻚَ ﻭَﺑَﻨَﺎﺗِﻚَ ﻭَﻧِﺴَﺎٓءِ ٱﻟْﻤُﺆْﻣِﻨِﻴﻦَ ﻳُﺪْﻧِﻴﻦَ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻦَّ ﻣِﻦ ﺟَﻠَٰﺒِﻴﺒِﻬِﻦَّ ۚ ﺫَٰﻟِﻚَ ﺃَﺩْﻧَﻰٰٓ ﺃَﻥ ﻳُﻌْﺮَﻓْﻦَ ﻓَﻼَ ﻳُﺆْﺫَﻳْﻦَ ۗ ﻭَﻛَﺎﻥَ ٱﻟﻠَّﻪُ ﻏَﻔُﻮﺭًا ﺭَّﺣِﻴﻤًﺎ


Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu’min:”Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 33:59)

Dari ayat ini kita mengetahui bahwa wanita wajib mengenakan jilbab. Jilbab yaitu: pakaian luar wanita semacam mukena/rukuh, yang dikenakan dari atas menutupi sebagian besar tubuhnya.

Adapun sifat-sifat jilbab/pakaian wanita adalah sebagai berikut:
1. Menutup seluruh badan, kecuali bagian yang boleh dibuka.
Alloh berfirman:
وَلاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
Dan janganlah mereka (wanita-wanita beriman) menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka.Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada mereka.(QS. 24:31)

Alloh melarang wanita menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa nampak. Tentang perhiasan yang biasa nampak, maka ada dua penafsiran ulama:
a) Pakaian yang dikenakan. Ini pendapat Ibnu Mas’ud.
b) Wajah dan dua telapak tangan. Ini merupakan pendapat sahabat: Aisyah, Ibnu Umar, dan Ibnu Abbas. Juga merupakan pendapat Ibnu Jarir, Al-Baihaqi, Adz-Dzahabi, Al-Qurthubi, Ibnul Qoththon, Al-Albani. Dan ini pendapat yang lebih kuat, karena merupakan amal yang berlaku pada banyak wanita di zaman Nabi dan setelahnya. (Jilbab Mar’atil Muslimah, hal: 41, 51, 52, 59).

Dengan demikian wanita muslimah wajib menutupi seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan telapak tangan. Menutup wajah wanita tidaklah wajib, namun bukanlah perbuatan yang berlebihan, bahkan hal itu merupakan keutamaan, karena dilakukan oleh istri-istri Nabi dan sebagian sahabat wanita di zaman itu dan setelahnya

2. Bukan merupakan perhiasan.
Tujuan perintah berjilbab adalah untuk menutupi perhiasan. Kalau jilbab/pakaian itu sendiri dihias-hiasi, dengan renda, bros, aksesoris, warna-warni yang menarik pandangan orang, maka ini termasuk “tabarruj” yang terlarang. Alloh berfirman:
وَلاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ

Dan janganlah para wanita mukminat itu menampakkan perhiasan mereka. (QS. 24:31)

Alloh juga berfirman:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلاَ تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ اْلأُوْلَى

Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu tabarruj. (QS. 33:33)

Tabarruj artinya: perbuatan wanita yang menampakkan perhiasannya, keindahan-keindahannya, dan segala yang wajib ditutupi, yang berupa perkara-perkara yang mendorong syahwat laki-laki”. (
Jilbab Mar’atil Muslimah, hal:120)
Oleh karena itulah jika keluar rumah, hendaklah wanita memakai pakaian yang berwarna gelap atau polos, tidak menyala dan berwarna-warni yang membuat menarik pandangan orang.

3. Tebal, tidak menampakkan warna kulit.
Karena jika kainnya tipis, maka berarti tidak menutup aurot.
Nabi Muhammad bersabda:

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا

Dua jenis (manusia) di antara penduduk neraka, sekarang aku belum melihat mereka: Sekelompok laki-laki yang membawa cemeti-cemeti, seperti ekor-ekor sapi, mereka memukul manusia dengannya. Wanita-wanita yang berpakaian, (tetapi) mereka telanjang. Mereka menjauhkan orang lain (dari kebenaran), mereka (sendiri juga) menjauhi (kebenaran). Kepala mereka seperti punuk onta yang miring. Para wanita ini tidak akan masuk sorga dan tidak akan mendapatkan bau surga. Padahal baunya akan didapati dari jarak yang sangat jauh. (
HR. Muslim, no: 2128)

Di antara penafsiran ulama terhadap sabda Nabi: “wanita-wanita yang berpakaian, (tetapi) telanjang”, yaitu: mereka menutupi sebagian tubuhnya, tetapi menampakkan sebagian lainnya untuk memamerkan kecantikan. Atau mereka mengenakan pakaian yang tipis yang memperlihatkan warna kulitnya. Sehingga mereka itu berpakaian seperti lahiriyahnya, namun mereka telanjang karena tidak menutupi aurot..Oleh karena itulah Ibnu Hajar Al-Haitami menghitung perbuatan wanita yang memakai pakaian yang tipis yang menampakkan warna kulitnya termasuk dosa besar! (
Az-Zawajir 1/127, 129)

Para ulama’ mengatakan: “Wajib menutupi aurot dengan apa yang tidak menampakkan warna kulit…”
(Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab 3/170. Dinukil dari hal: (Jilbab Mar’atil Muslimah, hal:129, karya Syeikh Al-Albani)
4. Longgar, tidak ketat yang membentuk anggota tubuh.
Usamah bin Zaid berkata: “Rasulullah memberiku pakaian tebal buatan Qibthi (Mesir) di antara yang dihadiahkan oleh Dihyah Al-Kalbi kepada beliau. Maka aku pakaikan kepada istriku. Kemudian beliau bertanya: “Kenapa engkau tidak memakai pakaian buatan Qibthi itu?” Aku menjawab: “Aku pakaikan kepada istriku”. Maka beliau bersabda: “Perintahlah dia agar memakai pakaian rangkap di dalamnya, karena aku khawatir pakaian itu membentuk ukuran tulangnya”. (HR. Dhiya’ Al-Maqdisi; Ahmad; Al-Baihaqi; dihasankan oleh Al-Albani di dalam131)
Yaitu menampakkan bentuk anggota tubuhnya, sebagaimana banyak dilakukan oleh wanita-wanita jahiliyah di zaman ini. Kaos ketat, celana jins ketat, berpakaian tetapi telanjang!

5. Tidak diberi wewangian.
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Apabila salah seorang dari kamu (kaum wanita) menghadiri (sholat) ‘Isya (di masjid) maka janganlah ia memakai wangi-wangian.” (Shahih riwayat Muslim, Ahmad, Nasa’i dari jalan Zainab).

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Siapa saja perempuan yang memakai harum-haruman, maka janganlah ia menghadiri (sholat) ‘Isya (di masjid) bersama kami.” (Shahih riwayat Ahmad, Muslim, Abu Dawud, dan Nasa’i dari Abu Hurairah).

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda “ Apabila seorang perempuan keluar ke masjid, maka hendaklah ia mandi (membersihkan diri) dari wangi-wangian sebagaimana ia mandi janabat.” (Shahih riwayat Nasa’i dari Abu Hurairah)

6. Tidak menyerupai pakaian laki-laki.
Abu Huroiroh berkata:
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّجُلَ يَلْبَسُ لِبْسَةَ الْمَرْأَةِ وَالْمَرْأَةَ تَلْبَسُ لِبْسَةَ الرَّجُلِ

Rosululloh melaknat laki-laki yang memakai pakaian wanita dan wanita yang memakai pakaian laki-laki. (HR. Abu Dawud, no: 4098; Ibnu Majah; Ahmad; dll)

Imam Adz-Dzahabi dan Ibnu Hajar Al-Haitami memasukkan ini dalam dosa-dosa besar! Dengan ini jelas bahwa wanita tidak boleh memakai pakaian yang khusus bagi laki-laki, seperti jaket, celana panjang, sorban, peci, topi, dsb. ((Jilbab Mar’atil Muslimah, hal:150)
Dan kaedah yang membedakan antara pakaian laki-laki dan wanita adalah apa yang pantas dan diperintahkan agama kepada laki-laki dan wanita. Wanita diperintahkan dengan menutupi diri, dan tidak pamer keindahan. (Lihat: (Jilbab Mar’atil Muslimah, hal:153)
7. Tidak menyerupai pakaian wanita-wanita kafir atau fasik.
Secara umum agama Islam melarang umatnya menyerupai orang-orang kafir dalam segala perkara yang merupakan ciri khusus mereka. Termasuk dalam masalah pakaian. Maka wanita beriman terlarang meniru dan menyerupai pakaian wanita-wanita kafir atau fasik. Nabi Muhammad bersabda:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

Barangsiapa menyerupai satu kaum, maka dia termasuk mereka. (HR. Abu Dawud, no: 4031; dll)
Setelah kita mengetahui hal ini, perhatikanlah yang ada pada kebanyakan wanita muslimat! Mereka banyak meniru mode-mode baju-baju wanita-wanita kafir dan fasik. Alangkah jauhnya mereka dari tuntunan agama yang haq.

8. Bukan pakaian syuhroh (yang menjadikan terkenal).
Nabi Muhammad bersabda:
مَنْ لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ أَلْبَسَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثَوْبَ مَذَلَّةٍ ثُمَّ تُلَهَّبُ فِيهِ النَّارُ

Barangsiapa memakai pakaian syuhroh, Alloh akan memakaikan padanya pakaian kehinaan pada hari kiamat, kemudian dia dibakar padanya di dalam neraka. (HR. Abu Dawud, no: 4030; Ibnu Majah)
Ibnul Atsir berkata: “Yang dimaksudkan adalah bahwa pakaiannya menjadi terkenal di kalangan orang banyak, karena warnamya berbeda dengan warna-warna pakaian mereka, sehingga orang-orang mengangkat pandangan mereka kepadanya, dan dia berlagak dengan kebanggaan dan kesombongan”. (Dinukil dari Jilbab Mar’atil Muslimah, hal:213)

Syeikh Al-Albani berkata: “Pakaian syuhroh adalah setiap pakaian yang diniatkan agar terkenal pada manusia. Baik pakaian itu mahal/berharga, yang pemakainya mengenakannya untuk membanggakan dengan dunia dan perhiasannya, atau pakaian buruk/rendah yang pemakainya mengenakannya untuk menampakkan zuhud (menjauhi dunia) dan riya’. (Jilbab Mar’atil Muslimah, hal:213). Al-hamdulillah Roobil ‘Alamiin

RUJUKAN: Jilbab Mar’atil Muslimah, karya Syeikh Al-Albani, penerbit: Maktabah Al-Islamiyah

Minggu, 26 Januari 2014

HUKUM REBOKASAN

Di antara anggapan dan keyakinan keliru yang terjadi di bulan Shafar adalah adanya sebuah hari yang diistilahkan dengan Rebo Wekasan. Dalam bahasa Jawa ‘Rebo’ artinya hari Rabu, dan ‘Wekasan’ artinya terakhir. Kemudian istilah ini dipakai untuk menamai hari Rabu terakhir.
rebo wekasan
rebo wekasan
Pada bulan Shafar (diperkirakan pada bulan Shafar tahun ini (1433 H) bertepatan dengan tanggal 17 Januari 2012). Di sebagian daerah, hari ini juga dikenal dengan hari Rabu Pungkasan.

Apakah Rebo Wekasan itu?

Sebagian kaum muslimin meyakini bahwa setiap tahun akan turun 320.000 bala’, musibah, ataupun bencana (dalam referensi lain 360.000 malapetaka dan 20.000 bahaya), dan itu akan terjadi pada hari Rabu terakhir bulan Shafar. Sehingga dalam upaya tolak bala’ darinya, diadakanlah ritual-ritual tertentu pada hari itu. Di antara ritual tersebut adalah dengan mengerjakan shalat empat raka’at -yang diistilahkan dengan shalat sunnah lidaf’il bala’ (shalat sunnah untuk menolak bala’)- yang dikerjakan pada waktu dhuha atau setelah shalat isyraq (setelah terbit matahari) dengan satu kali salam. Pada setiap raka’at membaca surat Al-Fatihah kemudian surat Al-Kautsar 17 kali, surat Al-Ikhlas 50 kali (dalam referensi lain 5 kali), Al-Mu’awwidzatain (surat Al-Falaq dan surat An-Nas) masing-masing satu kali. Ketika salam membaca sebanyak 360 kali ayat ke-21 dari surat Yusuf yang berbunyi:
وَاللَّهُ غَالِبٌ عَلَى أَمْرِهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ.
“Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya.”
Kemudian ditambah dengan Jauharatul Kamal tiga kali dan ditutup dengan bacaan (surat Ash-Shaffat ayat 180-182) berikut:
سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ وَسَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِينَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ.
Ritual ini kemudian dilanjutkan dengan memberikan sedekah roti kepada fakir miskin. Tidak cukup sampai di situ, dia juga harus membuat rajah-rajah dengan model tulisan tertentu pada secarik kertas, kemudian dimasukkan ke dalam sumur, bak kamar mandi, atau tempat-tempat penampungan air lainnya.
Barangsiapa yang pada hari itu melakukan ritual tersebut, maka dia akan terjaga dari segala bentuk musibah dan bencana yang turun ketika itu.
Kaum muslimin rahimakumullah, dari mana dan siapakah yang mengajarkan tata cara / ritual ‘ibadah’ seperti itu?
Dalam sebagian referensi disebutkan bahwa di dalam kitab Kanzun Najah karangan Syaikh Abdul Hamid Kudus yang katanya pernah mengajar di Masjidil Haram Makkah Al-Mukarramah, diterangkan bahwa telah berkata sebagian ulama ‘arifin dari ahli mukasyafah[1] bahwa pada setiap tahun akan turun 360.000 malapetaka dan 20.000 bahaya, yang turunnya pada setiap hari Rabu terakhir bulan Shafar. Bagi yang shalat pada hari itu dengan tata cara sebagaimana tersebut di atas, maka akan selamat dari semua bencana dan bahaya tersebut.
Mungkin inilah yang dijadikan dasar hukum tentang ‘disyari’atkannya’ ritual di hari Rebo Wekasan tersebut. Namun ternyata amaliyah yang demikian tidak ada dasarnya sama sekali dari Al-Qur’an maupun Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Generasi salaf dari kalangan shahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in tidak pernah melakukan apalagi mengajarkan ritual semacam itu. Demikian pula generasi setelahnya yang senantiasa mengikuti jejak mereka dengan baik.
Keyakinan tentang Rebo Wekasan sebagai hari turunnya bala’ dan musibah adalah keyakinan yang batil. Lebih batil lagi karena berangkat dari keyakinan tersebut, dilaksanakanlah ritual tertentu untuk menolak bala’ dengan tata cara yang disebutkan di atas. Sementara keyakinan dan ritual tersebut tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabatnya radhiyallahu ‘anhum, dan tidak pula dicontohkan oleh para imam madzhab yang empat (Abu Hanifah, Malik bin Anas, Asy-Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal), tidak pula mereka membimbing dan mengajak para murid serta pengikut madzhabnya untuk melakukan yang demikian.
Para ulama dan kaum muslimin yang senantiasa menjaga aqidah dan berpegang teguh dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya hingga hari ini -sampai akhir zaman nanti- juga tidak akan berkeyakinan dengan keyakinan seperti ini dan tidak pula beramal dengan amalan yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan generasi salaf tersebut.
Jika keyakinan dan ritual ibadah tersebut tidak berdasar pada Al-Qur’an dan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak pula sebagai amalan para shahabat radhiyallahu ‘anhum dan para imam madzhab yang empat, maka sungguh amalan tersebut bukan bagian dari agama yang murni. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.
“Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang bukan termasuk bimbingan dan petunjuk kami, maka amalan itu tertolak.” (HR. Muslim).
Semoga Allah subhanahu wata’ala senantiasa menjaga kita dan kaum muslimin dari berbagai penyimpangan dalam menjalankan agama ini. Amin.
Ditulis oleh Abu ‘Abdillah Kediri.
[1] Istilah ulama ‘arifin (secara bahasa maknanya adalah orang-orang yang mengetahui) dan ahli mukasyafah (secara bahasa maknanya adalah orang-orang yang bisa menyingkap) inipun juga tidak dikenal di kalangan salaf. Istilah ini dikenal di kalangan penganut paham shufiyyah sebagai penamaan bagi orang-orang ‘khusus’ yang mengerti sesuatu tanpa melalui proses belajar, dalam bahasa jawa disebut ngerti sakdurunge winarah. Mereka -yakni ulama ‘arifin dan ahli mukasyafah itu- juga diyakini bisa bertemu langsung dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan bahkan bertemu dengan Allah subhanahu wata’ala di dunia maya, sehingga mereka bisa menyingkap sesuatu (dari perkara ghaib) yang tidak bisa diketahui oleh selain mereka.
Ini semua tentunya adalah keyakinan yang batil, dan pembahasan seperti ini sangatlah panjang. Yang penting bagi kita adalah berupaya menjalankan agama ini -beraqidah, beribadah, berakhlak, bermu’amalah, dan lainnya dari urusan diniyyah- benar-benar bersumber dan sesuai dengan bimbingan Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman as-salafus shalih, bukan pemahaman selain mereka. Wallahu a’lam.

Minggu, 15 Desember 2013

HUKUM MENGUSAP WAJAH SETELAH SHALAT / BERDO'A

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Kami sengaja mengangkat tema ini, karena ada faedah yang berharga yang kami dapatkan dari ulama besar Saudi Arabia (Syaikh Sholeh Al Fauzan hafizhohullah) yang sikap beliau jauh berbeda dalam menyikapi hal ini. Artinya beliau menyikapinya jauh berbeda dengan sebagian orang yang mengatakan bid’ah dan sesat. Mengenai mengusap wajah setelah berdo’a kami sendiri sudah yakin bahwa itu tidak disyari’atkan karena kebanyakan ulama menilai bahwa haditsnya lemah. Sehingga jika lemah, tentu saja tidak perlu diamalkan. Namun bagaimana mengingkari orang lain yang masih mengamalkan hal ini? Kita dapat lihat ulama besar yang sudah ma’ruf bagaimana keilmuannya mengatakan bahwa tidak perlu bersikap keras dalam mengingkarinya. Mari kita lihat bahasan berikut. Moga bermanfaat.
Hadits Mengusap Wajah Setelah Do’a
Mengenai hadits tersebut di antaranya disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam kitab Bulughul Marom
وَعَنْ عُمَرَ - رضي الله عنه - قَالَ: - كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - إِذَا مَدَّ يَدَيْهِ فِي اَلدُّعَاءِ, لَمْ يَرُدَّهُمَا, حَتَّى يَمْسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ - أَخْرَجَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ
Dari ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membentangkan tangannya ketika berdo’a, beliau tidak menurunkannya sampai beliau mengusap kedua tangan tersebut ke wajahnya.
Hadits ini dikeluarkan oleh At Tirmidzi. Ibnu Hajar mengatakan bahwa hadits ini memiliki penguat, yaitu dari hadits Ibnu ‘Abbas yang dikeluarkna oleh Abu Daud. Yang keseluruhan jalannya menunjukkan bahwa hadits tersebut hasan.
Sedangkan ulama lain mendhoifkan hadits di atas. Adz Dzahabi mengatakan bahwa dalam hadits tersebut terdapat Hammad dan dia termasuk perowi yang dho’if (lemah)[1]. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini dho’if jiddan (lemah sekali).[2]
Penilaian Para Ulama Mengenai Mengusap Wajah Setelah Do’a
Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata,
لا يعرف هذا ، أنه كان يَمسح وجهه بعد الدعاء إلا عن الحسن .
Aku tidak mengtahui hadits yang shahih tentang amalan ini. Hanya Al Hasan yang mengusap wajah setelah do’a.[3]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
وَأَمَّا رَفْعُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَيْهِ فِي الدُّعَاءِ : فَقَدْ جَاءَ فِيهِ أَحَادِيثُ كَثِيرَةٌ صَحِيحَةٌ وَأَمَّا مَسْحُهُ وَجْهَهُ بِيَدَيْهِ فَلَيْسَ عَنْهُ فِيهِ إلَّا حَدِيثٌ أَوْ حَدِيثَانِ لَا يَقُومُ بِهِمَا حُجَّةٌ
Adapun mengangkat tangan saat berdo’a dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana terdapat dalam banyak hadits yang menerangkan hal ini. Adapun mengusap wajah setelah do’a, tidak ada yang menerangkan hal ini kecuali satu atau dua hadits yang tidak bisa dijadikan hujjah (alasan).[4]
Al ‘Izz bin ‘Abdis Salam rahimahullah berkata,
ج. قال العز بن عبد السلام : ولا يمسح وجهه بيديه عقيب الدعاء إلا جاهل .
Tidak ada yang mengusap wajah dengan kedua tangan setelah do’a kecuali orang yang jahil (bodoh).[5]
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah ditanya,
ما حكم مسح الوجه باليدين بعد الدعاء وخاصة بعد دعاء القنوت وبعد النوافل ؟
Apa hukum mengusap wajah dengan kedua tangan setelah berdo’a, khususnya setelah do’a qunut atau do’a setelah shalat sunnah?
Beliau rahimahullah menjawab,
حكمه أنه مستحب ؛ لما ذكره الحافظ في البلوغ في باب الذكر والدعاء ، وهو آخر باب في البلوغ أنه ورد في ذلك عدة أحاديث مجموعها يقضي بأنه حديث حسن ، وفق الله الجميع والسلام عليكم.
Hukumnya adalah disunnahkan sebagaimana hadits yang disebutkan oleh Al Hafizh Ibnu Hajr dalam kitab Bulughul Marom Bab Dzikr wa Du’a. Bab tersebut adalah akhir bab dalam Bulughul Marom. Hal ini dijelaskan dalam beberapa hadits yang semuanya jika dikumpulkan mencapai derajat hasan. Semoga Allah memberi taufik pada kalian seluruhnya, was salaamu ‘alaikum.[6]
Dalam soal yang lain Syaikh Ibnu Baz rahimahullah ditanya,
سمعت أن المسح على الوجه بعد الدعاء بدعة، وأن تقبيل القرآن الكريم بدعة، أفيدونا عن ذلك؟ جزاكم الله خيراً.
Aku pernah mendengar ada yang mengatakan bahwa mengusap wajah setelah berdo’a termasuk bid’ah. Berilah kami kejelasan dalam hal ini. Jazakallah khoiron.
مسح الوجه بعد الدعاء ليس بدعة، لكن تركه أفضل للأحاديث الضعيفة وقد ذهب جماعة إلى تحسينها؛ لأنها من باب الحسن لغيره، كما ذلك الحافظ بن حجر -رحمه الله- في آخر بلوغ المرام، وذكر ذلك آخرون، فمن رآها من باب الحسن استحب المسح، ومن رآها من قبيل الضعيف لم يستحب المسح، والأحاديث الصحيحة ليس فيها مسح الوجه بعد الدعاء، الأحاديث المعروفة في الصحيحين، أو في أحدهما في أحد الصحيحين ليس فيها مسح، إنما فيها الدعاء، فمن مسح فلا حرج، ومن ترك فهو أفضل؛ لأن الأحاديث التي في المسح بعد الدعاء مثلما تقدم ضعيفة، ولكن من مسح فلا حرج، ولا ينكر عليه، ولا يقال بدعة،
Perlu diketahui bahwa mengusap wajah setelah shalat bukanlah bid’ah. Akan tetapi meninggalkannya itu afdhol (lebih utama) karena dho’ifnya hadits-hadits yang menerangkan hal ini. Namun sebagian ulama telah menghasankan hadits tersebut karena dilihat dari jalur lainnya yang menguatkan. Di antara ulama yang menghasankannya adalah Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahdalam akhir kitabnya Bulughul Marom. Demikian pula dikatakan ulama yang lainnya. Barangsiapa yang berpendapat  bahwasanya haditsnya hasan, maka disunnahkan baginya untuk mengusap wajah. Sedangkan yang mendho’ifkannya, maka tidak disunnahkan baginya untuk mengusap wajah. Namun tidak ada hadits shahih yang menganjurkan mengusap wajah sesudah do’a. Begitu pula hadits yang telah ma’ruf dalam Bukhari Muslim atau salah satu dari keduanya tidak membicarakan masalah mengusap wajah setelah do’a, yang dibicarakan hanyalah masalah do’a. Siapa saja yang mengusap wajah setelah do’a, tidaklah mengapa. Namun meninggalkannya, itu lebih afdhol. Karena sebagaimana dikatakan tadi bahwa hadits-hadits yang membicarakan hal itu dho’if. Namun yang mengusapnya sekali lagi, tidaklah mengapa. Hal ini pun tidak perlu diingkari dan juga tidak perlu dikatakan bid’ah.[7]
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rahimahullah ditanya,
ما حكم مسح الوجه باليدين بعد الدعاء؟
Apa hukum mengusap wajah dengan kedua tangan setelah shalat?
Beliau rahimahullah menjawab,
يرى بعض أهل العلم أنه من السنة، ويرى شيخ الإسلام أنه من البدعة، وهذا بناءً على صحة الحديث الوارد في هذا، والحديث الوارد في هذا قال شيخ الإسلام: إنه موضوع. يعني: مكذوب على الرسول صلى الله عليه وسلم. والذي أرى في المسألة: أن من مسح لا ينكر عليه، ومن لم يمسح لا ينكر عليه،
Sebagian ulama memang mengatakan bahwa hal ini termasuk sunnah (dianjurkan). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sendiri menganggap perbuatan ini termasuk bid’ah (hal yang mengada-ada dalam agama). Bisa terjadi perbedaan semacam ini karena adanya perbedaan dalam menshahihkan hadits dalam masalah tersebut. Syaikhul Islam sendiri mengatakan bahwa hadits yang membicarakan hal ini mawdhu’ (palsu), yaitu diriwayatkan oleh perowi yang berdusta atas nama Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan aku sendiri berpandangan bahwa orang yang mengusap wajah (seusai do’a) tidak perlu diingkari. Begitu pula orang yang tidak mengusap wajah, juga tidak perlu diingkari.[8]
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam perkataannya yang lain mengatakan,
مسح الوجه باليدين بعد الدعاء الأقرب أنه غير مشروع؛ لأن الأحاديث الواردة في ذلك ضعيفة، حتى قال شيخ الإسلام - رحمه الله تعالى -: إنها لا تقوم بها الحجة.
... وإذا لم نتأكد أو يغلب على ظننا أن هذا الشيء مشروع فإن الأولى تركه؛ لأن الشرع لا يثبت بمجرد الظن إلا إذا كان الظن غالباً.
... فالذي أرى في مسح الوجه باليدين بعد الدعاء أنه ليس بسنة، والنبي صلى الله عليه وسلم كما هو معروف دعا في خطبة الجمعة بالاستسقاء ورفع يديه(1) ولم يرد أنه مسح بهما وجهه، وكذلك في عدة أحاديث جاءت عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه دعا ورفع يديه ولم يثبت أنه مسح وجهه.
Mengusap wajah dengan kedua tangan setelah do’a yang lebih tepat, amalan tersebut bukanlah suatu yang dianjurkan. Karena hadits yang menerangkan hal ini dho’if. Sampai-sampai Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa hadits tersebut tidaklah bisa dijadikan hujjah (karena dho’ifnya, pen). Jika memang menurut perasaan kita hal itu benar-benar tidak dianjurkan, maka yang utama adalah meninggalkan amalan tersebut. Karena amalan tidaklah dibangun dengan hanya sekedar perasaan kecuali jika perasaan tersebut benar-benar kuat. Aku pun berpendapat bahwa mengusap wajah sesudah do’a dengan kedua tangan bukanlah termasuk yang disunnahkan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana yang telah ma’ruf dalam khutbah Jum’at dan shalat Istisqo’, beliau berdo’a dengan mengangkat tangan. Namun ketika itu tidak didapati kalau beliau mengusap wajah setelah do’a. Begitu pula dalam beberapa hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dijelaskan bahwa beliau berdo’a dengan mengangkat kedua tangan namun tidak shahih jika dikatakan bahwa beliau mengusap wajah.[9]
Syaikh Sholeh Al Fauzan hafizhohullah ditanya, “Apa hukum mengusap wajah setelah berdo’a?”
Jawaban beliau hafizhohullah, “Hadits yang membicarakan amalan tersebut tidak shahih. Namun siapa yang mengamalkan hal ini tidak perlu diingkari. Akan tetapi, yang tidak mengusap wajah setelah berdo’a, itulah yang ahsan (lebih baik).”[10]
Penutup
Nasehat terakhir dari Syaikh Sholeh bin Fauzan bin ‘Abdillah Al Fauzan hafizhohullah, kami rasa sudah cukup sebagai kesimpulan. Artinya hadits yang membicarakan amalan ini dho’if, sehingga tidak perlu diamalkan. Namun tidak perlu ada ingkaru mungkar dalam hal ini karena haditsnya pun masih diperselisihkan dho’if atau hasannya. Yang tidak mengamalkan mengusap wajah sesudah berdo’a, itulah yang lebih baik. Wallahu waliyyut taufiq.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

Riyadh-KSA, 25 Rabi’ul Awwal 1432 H (28/02/2011)


[1] Lihat Siyar A’lam An Nubala, 16/67.
[2] Lihat Dho’iful Jaami’, 4412
[3] Al ‘Ilal Mutanahiyah, 2/840-841
[4] Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 22/519
[5] Fatawa Al ‘Izz bin ‘Abdis Salam, hal. 47.
[6] Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, Ar Riasah Al ‘Ammah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’, 26/148
[7] Sumber website Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz >> http://www.binbaz.org.sa/mat/11228
[8] Liqo’ Al Bab Al Maftuh, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin, kaset no. 196.
[9] Majmu’ Fatawa wa Rosail Ibnu ‘Utsaimin, Asy Syamilah, 13/191

[10] Sesi Tanya Jawab, Durus Mukhtashor Zaadil Ma’ad, 25 Rabi’ul Awwal 1432 H, Riyadh-KSA.